Musik Hindi

on 24 Mei, 2009

Oleh Saroni Asikin

MARSELLI Sumarno, sineas Indonesia, di Wisma Seni Taman Budaya Surakarta (TBS) akhir November 2002 lalu menceritakan suasana ruangan bioskop di Bombay, India, yang penuh sesak oleh orang-orang dari lapisan kota melarat itu. Mereka menonton film sambil berdiri di kursi, dan hampir selalu bersorak-sorak.
Cerita itu, mengingatkan saya pada suasana di beberapa bioskop kelas rendah di Tegal dan Brebes, Jawa Tengah. Beberapa tahun lalu, menjelang Lebaran, saya dari Semarang pulang ke Brebes. Hari masih sore, ketika tiba di Tegal. Iseng menunggu malam, saya turun tak jauh dari sebuah bioskop, yang kala itu hendak memutar film India (saya lupa judulnya). Peristiwanya, jauh sebelum tayangan Bollywood menjadi menu di hampir semua televisi swasta.
Hampir saja saya urung menonton film, saat melihat begitu panjangnya antrean di loket, persis seperti antrean pemudik di loket kereta api. Tapi saya kemudian berpikir, berdesak-desakan dengan para penonton adalah sebuah keisengan yang mengasyikkan. Maka, saya pun lalu membeli karcis.
Gila! Ketika pintu gedung dibuka, saya terjepit di antara ratusan penonton. Kalau Anda pernah antre tiket untuk mudik dari Jakarta, Anda bisa membayangkan posisi saya saat itu. Bisa dibayangkan, ruangan yang hanya menyediakan kursi sekitar 300 buah itu, harus diisi sekitar 700 orang. Walaupun saat itu masih hari puasa, ruangan yang jadi sangat pengap itu tetap penuh oleh asap rokok.
Begitu film dimulai, tak pernah ada keheningan. Apalagi ketika adegan berisi nyanyian khas film India, telinga saya pekak oleh koor para penonton. Saya terjepit di antara mereka, dan seolah-olah saya menjadi satu-satunya yang tidak terlibat dalam drama di luar layar film.
Mengapa mereka bisa fasih menyanyikan lagu berbahasa Hindi itu? Ternyata, sebagian besar di antara mereka telah beberapa kali menonton film yang diputar tersebut.
***
KETIKA sudah sampai di kampung (di daerah Brebes), antusiasme menonton film India masih saya jumpai. Beberapa pedagang Warung Tegal (Warteg) yang mudik dari Jabotabek, sudah banyak yang punya VCD player. Dan, hampir selalu mereka menyetel film India yang berdurasi hingga tiga jam itu.
Ketika saya bertanya pada beberapa pemilik rental CD, film Indialah yang terlaris. Hampir-hampir saya menyimpulkan untuk diri sendiri: betapa kampung saya sedang dilanda demam India.
Lalu, sekitar dua bulan usai Lebaran tahun itu, saya masih iseng menonton film India pada sebuah bioskop kelas rendahan. Bahkan, saya sempat berpikir bahwa kursi rotan yang jadi tempat duduk di gedung bioskop tersebut penuh oleh kutu busuk. Saya lupa judul filmnya; tapi saya tak akan melupakan penonton yang sebagian besar berusia 11 hingga 15 tahun. Lagi-lagi saya menjadi satu-satunya orang yang disuguhi drama di luar film. Anak-anak itu fasih melakukan koor, sembari bertepuk tangan ketika layar bertebaran nyanyian lagu India.
Kini, tayangan Bollywood hampir setiap hari bisa ditonton di televisi swasta. Bioskop-bioskop kelas rendahan yang sempat memberi saya drama di luar film itu pun, sebagian besar telah bangkrut. Saya kehilangan suasana koor penonton bersama para bintang film India. Tak ada lagi aura Hindi. Film yang ditonton dengan jeda iklan, tak mungkin lagi menciptakan ketertegunan berlebihan.
Hanya saja, mengingat Marselli yang meratapi ketiadaan budaya perfilman kita, saya jadi geregetan: Kenapa kita tak pernah bisa memelihara penonton? Padahal, penonton yang antusias sebelum berbicara soal kualitas film yang ditonton, adalah sebuah potensi tersendiri. Walaupun di sisi sebaliknya, saya juga sering tidak mengerti: Mengapa film seperti Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho dilempari dengan botol-botol air mineral yang sudah kosong, ketika diputar di bioskop yang biasanya selalu mengucurkan koor pada saat memutar film India? Sungguh, saya tak mengerti.(*)

PERNIK, Suara Merdeka, 11 Desember 2002

0 komentar: