Mari Membaca (Lagi)!

on 24 Mei, 2009

Oleh Saroni Asikin

SEBUAH wacana seperti teks sastra, folklor atau epos, ada kalanya memang tak bisa ditafsir dengan sekali simak. Perlu pembacaan berulang-ulang (regresi). Itu kalau kita memang memburu tafsir baru.
Tafsir baru atas sebuah teks, seringkali melahirkan teks yang ''sama sekali baru''. Baca, misalnya, Arok Dedes Pramoedja Ananta Tur. Sementara orang bilang, itu tafsir baru dari kisah Kitab Pararaton. Bahkan, dalam pengantar novelnya, dihubung-hubungkan kisah kudeta Arok pada Tunggul Ametung dengan kisah kudeta 1965.
Untuk lebih memperkuat penafsirannya itu, Pram bahkan menolak penggunaan sebutan ''Ken'', yang sekian lama dimaknakan sebagai ksatria. Setahu saya, dari teks Pram itu, bahkan muncul lagi penafsiran barunya yang lebih menonjolkan wacana soal feminisme lewat sosok Dedes dalam lakon Arok Dedes karya Benny (teaterawan muda Semarang) yang pernah ditampilkan di Teater Arena TBS Solo, beberapa waktu silam.
Apa menariknya penafsiran teks lama yang telah populer? Bolehlah itu ditanyakan pada Pram. Paling tidak, maestro sastra Indonesia itu telah menggubah beberapa karya sejenis Arok Dedes. Lakon Mangir dan cerita Calon Arang, misalnya.
Paling menarik, tafsir Pram pada sosok Ki Gede Mangir. Pada Babad Tanah Jawi yang jadi pijakan lakonnya, Mangir dibunuh Sunan Amangkurat setelah kepalanya dihantamkan ke Watu Gilang. Pram mengubahnya menjadi lebih dramatis, tapi kurang horor: Mangir dibunuh dengan ditusuk keris.
Ada yang mengatakan, tafsir baru itu lebih mendekati aspek kultural kejawaannya. Toh, tafsir boleh beragam. Karya yang multiinterpretable sering disebut karya bagus.
***
KESUKAAN memberikan tafsir baru atas teks lama, muncul pula dalam dua repertoar yang dipentaskan di Solo, dua pekan berselang. Teater Gidag-gidig Solo menggelar lakon Membaca Calon Arang; sebuah lakon gugatan (tafsir baru?) karya Hanindawan yang mencoba membayangkan sosok perempuan tukang sihir yang kejam sedang membaca kisah tentang dirinya.
Repertoar satunya, berupa tari topeng garapan kolaborasi Mugiyo Kasido dengan beberapa koreografer lain berjudul Surat Shinta. Menariknya, repertoar itu menyuguhkan percakapan Walmiki -si penulis epos Ramayana yang menyimpan kisah mengenai Shinta itu- dengan perempuan yang sedang diragukan kesuciannya oleh suami.
Paling pasti, sebuah tafsir baru selalu membutuhkan kajian intertekstual. Begitu banyak teks dari wilayah kultural dan era yang berbeda bisa begitu sama. Beberapa contoh bisa disebutkan. Kisah Uriah yang dikorbankan Daud demi mendapatkan Batsyeba dalam Perjanjian Lama, sangat mirip dengan kisah dari Bali Layonsari-Jayaprana. Romeo-Juliet yang banyak memberikan inspirasi dalam soal kesetiaan tak mati-mati, kenapakah pula muncul dalam kisah Bangsacara-Ragapadmi di Madura?
Kalau diperluas, kenapa kisah persekasihan Dayang Sumbi dan Sangkuriang dalam Tangkuban Perahu hampir mirip Jocasta dan Oedipus? Lalu, apa hubungannya dengan kisah incest yang jadi babon pawukon antara Watugunung dan Shinta? Jadi, mari terjemahkan kata pertama Alquran Iqra dengan: bacalah, lagi dan lagi!(*)

PERNIK, Suara Merdeka, 16 Oktober 2002

0 komentar: