Harapan Itu Tak Boleh Mati

on 24 Mei, 2009

Obituari untuk Sukma Ayu

ADA seorang putri yang tidur lama sekali seolah-olah telah mati. Dia menunggu kedatangan seorang pangeran. Dan ketika pangeran itu benar-benar datang dan membangunkannya, dia bangun dalam kondisi segar-bugar dan menikah dengan sang pangeran. Happy ending.
Tapi kehidupan nyata sering tak sama dengan dongeng. Artis Sukma Ayu yang ''tidur'' (baca: koma) lebih dari lima bulan akhirnya benar-benar ''tidur abadi''. Sabtu (25/9/2004) pukul 13.45, putri bungsu pasangan H Misbach Yusa Biran dan Nani Wijaya itu dinyatakan meninggal oleh dr Suparman selaku dokter keluarga.
Selalu ada cerita yang mengharukan setiap kali seseorang yang masih muda, populer, dan sedang menanjak titian kariernya harus pulang menghadap ke hadirat Allah SWT.
Ungkapan ''only the good dying young'' acap dimunculkan mengiringi kepergiaan orang serupa itu. Adakah hanya yang baik yang mati muda seperti predikat pernah diberikan orang kepada, sebut saja, Jim Morrisson, Jonas Japlin, Jimmy Hendrix, Lady Di, atau Nike Ardila? Kalau toh berbeda barangkali kematian Sukma tak setragis mereka semua.
Secara jujur, saya tak begitu mengenal Sukma Ayu. Saya hanya tahu aksinya yang membikin tawa dan membuat gemas ketika memerani Rohaye dalam sinetron Kecil Kecil Jadi Manten (KKJM), serta sedikit cerita kontroversial mengenai foto asyik-masuknya dengan B'jah.
Citra Sukma yang terpacak adalah sosok gadis tomboy dengan tampilan mirip Ronaldo, lengkap dengan kaus kesebelasan Brasil bernomor punggung 9 seperti yang ditunjukkannya dalam diri Rohaye. Seorang remaja putri yang suka memanjat dan berkelahi dengan teman laki-laki sebaya.
Itu yang tersaji di layar kaca. Lalu ada rasa simpati yang menelisik hati saya ketika tahu bahwa demi peran Rohaye itu dara kelahiran Jakarta, 10 November 1979, itu rela menggunduli rambutnya yang cantik menjadi sama dengan Ronaldo. Setiap hari dia pun harus rela mengakrabi wig.
Bagi saya, apa yang dilakukan gadis yang akrab disapa Euis itu tentu bukan semata nafsu memburu peran itu. Ada tekad dan keseriusan yang memang lalu dibayar tunai oleh popularitas yang lalu digenggamnya. Meskipun sebenarnya sebelum KKJM, Sukma telah berperan di beberapa sinetron.

***
Ya, ada kekerasan hati atau tekad yang membulat pada Sukma. Dan di mata keluarganya, si bungsu itu memang keras hati seperti ibunya, Nani Wijaya. Kekerasan itu bahkan telah ditunjukkannya ketika baru hadir ke dunia.
Dengar saja cerita Nani yang ber tanggal lahir sama dengan putri bungsunya itu.
''Dibandingkan dengan lima saudara lainnya, tangisan Sukma paling keras. Kayak apaan tuh.''
''Kita memang orangnya sama-sama keras,'' ujar Sukma suatu ketika mengenai dirinya dan ibunya. ''Aku sering pulang syuting malam-malam. Mama tanya dari mana pulang malam-malam. Karena baru pulang, aku suka menjawab keras. Udah gitu kita suka diem-dieman besok paginya. Nggak lama sih, setelah itu kita udah baikan lagi. Dan aku deket banget sama Mama.''
Dan di antara anak-anak yang lainnya, Sukma memang paling popular di mata khalayak penyuka dunia selebritas. Tapi memang popularitas acap kali bermuka dua.
Satu muka melambungkan, muka satunya berusaha menenggelamkannya. Itu juga yang dialami Sukma. Dia melambung dengan ikon Rohaye, tapi lalu foto syurnya dengan penyanyi B'jah yang beredar luas seolah-olah angin puting beliung yang ingin mengempaskannya.
Tapi ketegarannya yang kadangkala terkesan cuek seperti Rohaye dalam menghadapi hantaman itu pun makin membuka rasa simpati publik. Dia masih asyik-asyik saja menjalani rutinitas sehari-harinya seolah-olah tidak sedang dipermalukan oleh beberapa foto.
Belum lagi jernih soal foto, hantaman tragis kembali menimpa Sukma. Jumat 9 April 2004, Sukma bertandang ke seorang temannya. Ketika sedang minum, dia jatuh terpeleset. Luka yang menggores lengannya dari pecahan gelas membawanya berobat ke RS Medistra, Jakarta Selatan.
Sebuah operasi harus dijalaninya, namun tak lama setelah itu dia tak sadarkan diri dan tak pernah lagi terbangun hingga kematian menjemputnya. Itulah saat Si Rohaye menjadi ''putri tidur''.
Lalu cerita mengenai upaya keluarganya, memenuhi cerita publik lewat media massa. Sebuah cerita mengenai harapan yang tak boleh mati, meskipun berdasarkan analisis medis, angka harapan hidup Sukma Ayu hanya sekitar 1-2 persen. Dan harapan itu pun sirna siang itu.
Tapi apa yang dilakukan keluarga H Misbach Yusa Biran menunjukkan pada kita bahwa sekecil apa pun harapan tak boleh begitu saja mati. Sebab, kehidupan memang selalu berujung pada kematian dan pada kenyataan itu, hanya harapanlah yang membuat manusia benar-benar merasa hidup. Selamat jalan, Sukma Ayu, "putri tidur" yang manis...(*)

Suara Merdeka, 26 September 2004