Kepayon Kemanjon

on 24 Mei, 2009

''Kepayon-Kemanjon''

Oleh: Saroni Asikin

TERNYATA, sebuah kesuksesan tak senantiasa membawa kegembiraan. Saya mencoba belajar kenyataan itu pada sosok Boy Tri Harjanto. Pelukis muda dari Solo itu, baru saja berpameran selama beberapa hari di The Japan Foundation Jakarta. Puluhan lukisan wayang bebernya, dibeber untuk publik Ibukota. Hasilnya, sungguh di luar dugaan: Tiga buah lukisannya terjual; masing-masing seharga di atas Rp 10 juta.
Tapi, di sela-sela kebanggaan Boy menceritakan soal kepayon itu, ada kabut menggayut di wajahnya. Apa pasal? ''Saya sungguh shock. Tak membayangkan sampai seperti itu. Ngerinya lagi, proses kreativitas saya seperti buntu. Seolah-olah saya tak punya kekuatan lagi untuk melukis,'' ujarnya lirih.
Saya juga tak membayangkan dia akan berkata seperti itu. Dalam bayangan saya, dia akan bercerita dengan penuh kebanggaan, lalu bicara soal rencana pameran selanjutnya. Tapi tidak! Dia mengalami kebuntuan kreatif, momok terngeri bagi seniman. Dan yang pasti, itu bukan penyakit main-main.
Bagi saya, Boy hanyalah sebuah kasus. Dia berkarya sekian lama; menyimpan karyanya, dan mengeluarkannya ketika ada kesempatan pameran. Di The Japan Foundation itu, adalah pamerannya yang kali pertama. Lalu, seperti mendapat pulung, karyanya laku dengan harga yang terbilang tinggi untuk pelukis pemula. Seolah-olah dia mendapat wahyu kepayon; namun ternyata dia belum siap.

***

BOY seolah-olah mengajarkan, seseorang butuh energi kesiapan yang besar untuk menerima kesuksesan. Pun, barangkali kalau dibalik, itu berlaku ketika seseorang menangguk kegagalan. Padahal, tidak semua pelukis muda bisa seperti Boy. Begitu banyak cerita mengenai sulitnya mendaki tangga sukses. Bahkan idiom yang kerap mengikuti diskursus itu, selalu berupa ''penuh onak-duri'', atau ''kerikil-kerikil tajam''.
Tapi, ada juga kesuksesan yang diraup seperti permainan sulap. Simsalabim, sukses! Lebih sering memang, wahyu kepayon itu bersifat pilih kasih. Juga dalam soal pasar seni lukis. Begitu banyak pelukis muda yang memiliki obsesi bisa berpameran, dan ''paling tidak'' ada sebuah karyanya yang terjual. Ada juga pelukis -yang atas alasan kebutuhan ''biologis''- menjual karyanya dengan cara yang mirip pengasong. Disanding kasus seperti itu, Boy masih beruntung.
Tapi, kasus Boy bukan soal kepayon semata. Ia bicara soal kreativitas yang tiba-tiba buntu, setelah masa kepayon itu. Ia merasa dirinya kemanjon (setengah matang-Red); dan itu selalu buruk untuk sebuah proses kreatif. Padahal, seorang seniman yang mengalami kebuntuan kreasi berarti harus siap-siap disebut telah mati.
Pada kenyataan itu, bisa jadi ada banyak ''Boy'' lain. Tidak hanya di kalangan pelukis, barangkali; seniman atau status sosial lain pun bisa mengalaminya. Maka, pada mulanya adalah kesiapan menerima kesuksesan; juga kegagalan. Pasti, sindrom kepayon-kemanjon yang berujung kebuntuan kreativitas akan tersembuhkan.(41)

PERNIK, Suara Merdeka, 4 September 2002

0 komentar: