Kaca Pembesar

on 24 Mei, 2009

''JON, ente aja macem-macem garo wong Tegal. Angger dikerasi njadag, tapi dirimuk nglungkruk.'' (Jon, kamu jangan macam-macam sama orang Tegal. Kalau dikasari melawan, tapi dibujuk takluk.
Tafsir atas kalimat itu bisa berarti sebuah ancaman. Tapi bisa juga itu wujud mekanisme pertahanan diri sebuah komunitas yang bernama Tegal. Tegal di situ tak semata merujuk wilayah geografis Kabupaten dan Kota Tegal. Ia bisa berarti pula masyarakat yang berbahasa Jawa Tegal sekaligus kebudayaan yang melingkupinya. Maka, sebagian orang Pemalang dan sebagian besar Brebes bisa diikutkan.
Kalau ungkapan di atas dianggap menjadi pola-biru sikap orang Tegal dalam berhubungan dengan orang lain, maka sungguh mengherankan ketika mereka distereotipekan sebagai masyarakat medioker yang hanya pantas untuk dilecehkan dalam bahasa lawakan televisi. Lihat saja, selain dari Warteg yang sebenarnya mirip dengan pola waralaba, kita mengenal mereka lewat banyolan Parto Tegal atau Cici Tegal, atau Samson yang bertubuh besar tapi selalu dikalahkan oleh Tuyul Ucil yang bertubuh kecil, atau ke belakang lagi lewat pelawak Kholik.
Potret orang Tegal dalam bingkai bahasanya seolah-olah memang hanya pantas untuk membuat orang tertawa. Potret orang yang ketika bicara hanya jadi ''bulan-bulanan'' lawan bicara. Dengan orang semacam itu, mengapa kita tak boleh macam-macam? Apa pasal?
Ungkapan di atas bukannya ahistoris dan niracuan. Banteng Loreng Binoncengan yang menjadi simbol orang Tegal boleh jadi memang bukan gambar mati. Seorang anak kecil yang terkesan lugu menunggangi seekor banteng besar tentu saja tak diciptakan sebagai simbol tanpa kandungan makna. Boleh jadi orang Tegal itu selugu anak kecil itu, tentu saja dengan atribut lainnya seperti kelugasan dan kebersahajaan. Tapi bukankah si kecil itu penakluk? Bukankah para pewarteg mampu menaklukkan ''pasar besar'' Jakarta lewat dandang nasinya?
Dengan gambaran serupa itu, saya jadi paham arti kegundahan orang Tegal seperti Nurngudiono ketika bahasa ibunya hanya dikenal sebagai bahasa lawakan. Ketika orang Tegal hanya dimaknai sebagai orang yang menarik sebagai sasaran kekonyolan. Sampai-sampai dia melontarkan pertanyaan retoris, ''Apakah bahasa Tegal tak memiliki bahasa puisi?''
Tentu saja punya. Saya ingat sebuah nyanyian ketika kanak-kanak pada saat turun hujan. Begini, ''Tauge-tauge udane sing gedhe, taurang-taurang udane sing terang''. Sebuah kalimat puitis yang bahkan bisa berdaya mantra. Bahkan untuk keperluan pola persajakan, orang yang entah menciptakan nyanyian itu membuat kata baru (neologisme) ''taurang'' demi bersajak dengan kata ''terang''. Dan kata itu, mungkin hingga hari ini, tak pernah ditemukan maknanya.
Nurngudiono pun pasti ingat, beberapa tahun lalu Lanang Setiawan mencuatkan puisi Tegalan dengan sangat jumawa. Saya pun sangat yakin orang-orang seperti Nur Hidayat Poso, Yono Daryono, Lutfi AN, Suriali, Abidin Abror, Enthieh Mudzakir, Ki Enthus, Atmo Tan Sidik, Eko Tunas, banyak lagi lainnya yang saya kenal begitu bangga dengan identitas daerahnya tak pernah merasa diri mereka medioker sebagai orang Tegal. Sebutan ''Jon'' untuk saling memanggil sesama kawan misalnya, di luar alasan uniformitas dan kesetaraan, adalah juga perujuk kebanggaan identitas. Sebutan yang lalu membuat kawan dari luar Tegal terheran-heran mendengar setiap orang memiliki nama ''Jon''.
Nah, itulah persoalannya. Keterheran-heranan itu kalau diperbesar lagi menciptakan stereotivikasi tertentu yang acap bernada minor. Pada tataran itu, parameter yang selalu dipakai adalah ''kita'' bukan ''mereka''. Sialnya, kita acap melakukan itu. Ibaratnya, kita melihat wajah orang lain dengan kaca pembesar. Secantik dan setampan dewa-dewi, wajah orang yang dilihat dengan kaca pembesar pastilah buruk muka.

Bianglala, Suara Merdeka 11 April 2004
BIANGLALA, Suara Merdeka, 11 April 2004

0 komentar: