Perempuan yang Berteriak

on 24 Mei, 2009

APA makna seorang perempuan yang mencebis minta diperhatikan kata-katanya di hadapan lelaki yang berkuasa? Tak ada sama sekali. Lihat saja reaksi Priam, Raja Troya, saat anak perempuannya Cassandra mendedahkan nubuat kehancuran kerajaannya yang agung.
Priam yang lelaki tentu saja lebih suka cara Paris dalam ''merebut'' si cantik Helena dari pelukan Menelaus. Sebuah manifestasi dari kedayaan lelaki. Maka persetan Troya akan hancur! Persetan Paris, juga Hector, serta kehancuran Troya oleh ''sesosok makhluk'' seperti yang ditakutkan perempuan cenayang malang itu! Dan omongan perempuan tak cantik dan lemah seperti Cassandra hanyalah nonsens.
Dan ketika semua terbukti, hanya istri Priam yang terguguk oleh tangis. Sedangkan, Cassandra yang malang itu hanya bisa menangis tanpa suara di kerangkeng bawah tanah milik ayahnya. Dia sudah kehilangan suaranya, bahkan untuk sekadar berteriak, ''Jangan remehkan omongan perempuan betapa pun terkesan nyinyir!''
''Tak ada tempat baginya di surga!'' jerit Nawal El Saadawi belasan abad setelah Homerus mensyairkan mitologi Yunani itu. Perempuan Mesir itu melawan dalam jeritan bahasa kata-kata. Tak seperti cebisan sengit kata-kata Cassandra ketika berhadapan dengan ''keluarganya'' yang lelaki, Nawal membuatnya jadi lirik yang tragis dalam fiksi lewat tokoh Zainab.
''Seumur hidup ia tidak pernah marah kepada ayahnya, saudara, juga suaminya. Jika ia dipukuli suaminya hingga hampir mati, kemudian pulang ke rumah ayahnya, segera si ayah akan mengantarkannya pulang kembali ke rumah suaminya. Dan jika ia sampai kembali kedua kalinya, ayahnya malah akan memukulinya, kemudian mengantarkannya kembali. Atau jika suaminya yang menjemput, kemudian tidak mengusirnya, tapi tetap memukulinya. Kemudian ia kembali ke ibunya. Maka si ibu akan berkata kepadanya, ''Zainab, pulanglah ke rumah suamimu! Kelak akan kau dapatkan surga di akhirat!'' tulis Nawal
Jadi, memang tak ada ''surga'' buat perempuan, paling tidak di dunia ini. Seperti Cassandra yang menanggung ketersiksaan di kerangkeng bawah tanah, Zainab terdera pukulan-pukulan tanpa bisa berteriak.
Dan selama berabad-abad, kehidupan yang terbingkai oleh patriarki, teriakan perempuan selalu hanya terlipat di perut dan tak sempat keluar menjadi sekadar sebuah desisan, apalagi gema. Tapi tetap saja ada perempuan yang berteriak. Nyonya Moya Mudenda, sosok utama novel The Legacy (Warisan) karya Tsitsi V Himunyanga-Phiri adalah seorang perempuan dari sedikit lainnya yang teriakannya nyangkut di kuping ''masyarakat lelaki''.
Tak selalu lelaki yang tutup telinga pada teriakan perempuan, tapi juga kaum perempuan. Itu juga jadi ironi bagi pejuang feminisme. Apa yang dialami Nyonya Moya Mudenda jadi bukti. Ia itu pejuang feminisme dan mendidik anak perempuannya menjadi seperkasa dirinya. Tapi apa lacur? Si anak perempuan malah rela menjadi gundik seorang lelaki.
Jadi memang tak mudah memang ketika seorang perempuan harus berteriak. Tapi teriakan itu adalah keniscayaan. Dalam bingkai itu pula, Iber-iber Tledek Barangan karya Sahita adalah keniscayaan itu. Repertoar itu memang lahir dari semangat meneriaki perempuan lain yang serupa anak perempuan Nyonya Moya Mudenda. ''Saya jengkel lihat perempuan yang begitu mudah menggapai karier bukan karena dirinya, tapi karena jadi simpanan seorang lelaki yang memiliki kekuasaan,'' kata Wahyu Widayati, penggagasnya.
Maka, dalam segala ironisme, juga adanya gegar gender yang akrab di telinga kaum feminis, harga seorang perempuan yang berteriak bisa diperkirakan.(*)

BIANGLALA, Suara Merdeka, 15 Februari 2004

0 komentar: