Mendadak Pesohor

on 15 Maret, 2009

Kita barangkali sering mendengar wejangan begini: "Untuk jadi terkenal itu tak mudah. Harus berjuang superkeras. Harus belajar supergiat. Harus prihatin tak henti-henti. Harus tawakal, juga istiqomah. Harus teruji di Kawah Candradimuka" Hmm, rumit sekali. Begitu banyak rumus yang bikin kening berkerut.
Memang untuk ternama, Einstein saja harus bertahun-tahun tersuruk di kamar sempitnya di Berne, Swiss, membikin pelbagai rumus sebelum menemukan Teori Relativitas. Siddharta juga begitu. Untuk menemukan ''Om'', suatu kesempurnaan rohaniah, dia harus melewati kegelisahan panjang ketika hidupnya melulu pada jalan pemuasan nafsu ragawi. Dia berasyik-masyuk dengan Kamala yang cantik, berbinis kotor, atau berjudi. Setelah melewati periode buruk itu, dia lalu dikenal sebagai Sang Buddha Gautama. Dalam kisah pewayangan, ada Wisanggeni. Untuk bisa sangat sakti, bahkan Batara Guru pun tak bisa mengalahkannya, putra Arjuna dan Dersanala itu harus dilempar ke Kawah Candradimuka oleh Semar.
Anda bisa membuat senarai yang panjang untuk tokoh-tokoh ternama yang harus berjuang panjang sebelum orang membaiatnya sebagai si pesohor.
Tak adakah jalan pintas untuk jadi pesohor? Tak bisakah dengan sedikit keberuntungan seseorang sontak menjelma sosok ternama? Atau sebenarnya popularitas itu rahasia ilahi?
Mari kita lihat Ponari. Sebelum tersiar kabar bahwa orang rela antre, berderet-berdesakan (sampai ada yang menemu maut) untuk mencucup air bekas celupan batunya, dia hanya anak lugu dari Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang, sama seperti jutaan anak lainnya.
Namun dia ''mendadak pesohor''. Tak hanya kalangan bawah, para pejabat tinggi negeri kita pun urun komentar, juga keheranan. Saking terkenalnya, juga karena bermedium air, banyak situs internet memunculkan nama ''Ponari Sweat'' yang beranalog pada satu merek minuman penambah ion tubuh.
Tapi pesohor yang ini unik. Dia tak perlu tampil dengan sikap jumawa. Mukanya pun selalu lugu. Sama sekali tak membersitkan kecemasan apakah air yang sudah tercelup batunya bakal jadi tuah penyembuh si sakit atau malah jadi penyebab sakit perut. Dia asyik saja dalam gendongan sembari main-main ponsel. Dia bahkan tak mau memandang muka ''pasiennya'' yang bermuka mengiba. Dia tak secemas Elia ketika dituntut kaumnya membuktikan kenabian di Gunung Karmel lewat mezbah-mezbah bakaran. Untungnya, Dik Popon itu tak menahbiskan diri sebagai nabi atau wali.
Saya tak tahu dan tak mencemaskan apakah popularitas mendadak Ponari itu sebuah keberuntungan atau jadi bagian rahasia ilahi. Tersambar petir dan tak mati bahkan tak secuil pun bagian tubuhnya gosong, itu mungkin sebuah keberuntungan. Dia tak perlu berlatih goyang ngebor bertahun-tahun seperti Inul, atau kaya raya dan cari-cari perhatian dengan mengawini gadis di bawah umur, pamer tumpukan uang dan mobil mewah seperti Syeh (dari mana gelar kharismatis ini?) Puji. Dia juga tentu berbeda dari Mpok Nori atau Ponaryo Astaman untuk kondang. Cukup tersambar petir, dapat batu, dan hopla... dunia membicarakannya.
Tapi kenapa harus Ponari, kenapa bukan si Budi Kecil penjaja koran atau si Sakerah kecil yang tekun mengaji? Itu mungkin rahasia Tuhan.
Yang saya cemaskan adalah anak-anak kita yang menyimak berita tentang Ponari. Kemendadakan jadi pesohor tanpa melakukan apa-apa selain (konon) tersambar petir bisa saja ditangkap anak-anak kita dengan persepsi lugu mereka: untuk terkenal cukup dengan menunggu keberuntungan. Untuk dielu-elukan dan jadi ''kaya mendadak'' itu tak perlu berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.
Kecemasan saya ini bolehlah disebut kenaifan. Tapi bagaimana bila pelan-pelan Ponari menjadi role-model anak-anak kita? Dia bukan Gundala si Putra Petir atau Flash Gordon. Dia bukan Superman atau Cinderella. Dia bukan Ical atau Lintang ciptaan Andrea Hirata. Dia bukan Harry Potter atau Barbie.
Mereka semua fiktif. Ketika anak-anak kita sudah cukup umur, mereka bakal paham, semua nama itu sosok tak nyata yang lahir dari proses imajinasi.
Tapi Ponari itu nyata. Dia berdarah dan berdaging, dan bisa digendong-gendong. Di televisi atau pada foto di koran dan majalah, dia hadir dengan kesan bahwa semua orang menyayanginya. Anak mana yang tak ingin disayang-sayang?
Dulu kalau Ria Enes bertanya mau jadi apa Susan kalau besar, si boneka centil itu bilang, ''Mau jadi dokter, Kak Ria.'' Bagaimana bila dengan pertanyaan sama, anak kita mantap menjawab, "Seperti Ponari.'' Apalagi Dik Popon memang mirip dokter tanpa harus bertahun-tahun berkuliah kedokteran yang mahalnya naudzubillah itu. Dan jarang ada dokter yang cepat terkenal kecuali menjadi ''dokter aborsi'' yang diciduk polisi. Lebih-lebih lagi, hanya dengan mencelupkan batu, puluhan juta rupiah mengalir, sehingga datang ke Monas yang barangkali tadinya semata impian bagi Ponari Kecil, kini tinggal alakazam dan the dream comes true.
Kalau seperti itu, punyakah kita jawaban kalau anak kita bertanya soal kesuksesan? Itu kalau popularitas berbanding lurus dengan kesuksesan. (*)

LATAR, Suara Merdeka, 15 Maret 2009

1 komentar:

Unknown mengatakan...

yup,,, sebuah kesuksesan tak dapat diraih dengan instan