Bedhaya Sanga Menarikan Kehidupan

on 07 Februari, 2009



Oleh Saroni Asikin

Kalau ingin menyimak perjalanan hidup manusia dari lahir hingga ajal menjemput, duduk sajalah selama sekitar satu jam dan saksikan gerakan-gerakan ritmis sebuah tari bedhaya. Agak terdengar bombastis, memang. Kehidupan yang panjang dan kompleks rasanya musykil hanya didedah dalam sebuah karya koreografi. Tapi begitulah muatan nilai yang diinginkan Yoyok B Priyambodo dari Sanggar Greget Semarang dalam ''Bedhaya Sanga'' di TBRS, Sabtu (31/01/2009) malam.
Tarian dibuka oleh gerakan dua penari, laki-laki dan perempuan (Yoyok B Priyambodo dan Suprapti) di atas punggung beberapa penari laki-laki yang membentuk tableau. Tarian mengalir menciptakan beberapa konfigurasi hingga muncul para penari perempuan dari belakang penonton yang membawa obor, beberapa konfigurasi lagi hingga purna dengan konfigurasi yang mirip dengan pembuka tarian.
Secara koreografis, "Bedhaya Sanga" adalah tarian terstruktur dan tartil. Maklum, ia terbentuk dari sembilan komposisi tari bedhaya yang secara berurutan membangun rangkaian kisah mengenai perjalanan hidup manusia. Kesembilan komposisi itu adalah Bedhaya Mijil, Dandanggula, Ketawang, Ladrang, Sampak, Asmaradana, Pangkur, Sekati, dan Kinanti. Yoyok bilang, masing-masing bedhaya tersebut merupakan komposisi utuh yang telah dia ciptakan terlebih dahulu dan rencananya bakal dipentaskan berkeliling di beberapa kota di Jateng.
Meski begitu, "Bedhaya Sanga" tetaplah sebagai koreografi utuh. Dengan analogi sederhana, kalau "Bedhaya Sanga" itu sebuah rumah, maka struktur pembangunnya seperti atap, genting, jendela, pintu, dan sebagainya itu terjumpai pada kesembilan bedhaya pembentuknya. Apalagi memang apa yang ditampilkan di TBRS itu memiliki tema tunggal. Yakni, ''bagaimana seseorang mesti mengelola sembilan lubang yang menjadi simbol hawa nafsu agar hidupnya sempurna".
Begitu pula, kata ''Sanga" dalam tajuk, selain merujuk pada konsep ''babahan hawa sanga", ia juga mengunjuk pada jumlah komposisi yang membangun tarian bedhaya tersebut. Apalagi Yoyok cukup cerdik melakukan strukturisasi koreografinya secara tartil alias berurutan. Untuk mendedahkan konsep utama, dia berpijak pada gagasan mengenai tahap-tahap perjalanan kehidupan manusia. Kalau diringkas, struktur tematisnya seperti ini: manusia lahir (Mijil), hidup dalam pengasuhan orang tua (Dandanggula), menginjak masa remaja dan mulai 'membaca' dunia (Ketawang), mencari jati diri (Ladrang), bertemu dengan persoalan hidup (Sampak), merasakan cinta pada lawan jenis dan membuhulkannya dalam perkawinan (Asmaradana), menanggung beban kewajiban sebagai orang tua (Pangkur), terdorong kehendak memuliakan diri dan keluarganya (Sekati), dan menuju kematian dalam kepasrahan terhadap Tuhan (Kinanti).

***

MEMBENTUK suatu tarian dari banyak komposisi tari yang notabene telah purna sebagai karya tidaklah selalu mudah. Transisi dari satu komposisi ke komposisi berikutnya bisa saja terjebak pada kerusakan alur atau ritme tarian. Bagaimana Yoyok mengatasi jebakan transisional itu?
''Saya bersandar pada irama. 'Bedhaya Sanga' ini memiliki alur yang mengalir. Saya mengikuti itu. Karya ini terbentuk dari sembilan komposisi utuh. Kalau semuanya utuh ditampilkan, durasinya bisa sangat lama. Maka saya ambil gerakan yang representatif saja dan menjalinnya dengan transisi yang tetap ritmis,'' jelasnya.
Yang menarik dicermati adalah kemiripan pola konfigurasi tarian Bedhaya Mijil dengan Bedhaya Kinanti. Mengapa? ''Hidup itu sebuah siklus, juga bersifat dialektis. Kelahiran itu berujung pada kematian, dan selanjutnya muncullah kelahiran baru,'' ujar Yoyok, filosofis.
Tapi memang benar, pada Mijil yang ditarikan dua penari lelaki dan perempuan (Yoyok B Priyambodo dan Suprapti) memainkan gerakan tarian yang pelan-ritmis di atas punggung beberapa penari laki-laki. Bedanya, Mijil menguarkan (sedikit) keriangan, sementara Kinanti lebih bernuansa tintrim dan khusuk karena memang memuat pesan ''manembah'' atau berserah diri pada Tuhan.
Bedhaya, seperti sudah kita kenal, adalah tarian sakral atau disakralkan. Beberapa jenisnya bahkan hanya boleh ditarikan pada tempat dan momentum khusus. Sebut saja ''Bedahaya Ketawang'' yang melengkapi jumenengan ratu di Keraton Surakarta Hadiningrat, dan ''Bedhaya Semang'' di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Apakah bila tarian ''sakral" itu digelar tidak pada tempat dan momentum khusus, lantas memuai kesakralannya?
Tak bisa disimpulkan seperti itu. Sebelum ''Bedhaya Sanga'', sudah banyak penari yang menciptakan beragam varian bedhaya. Dan semangat kesakralan itu masih jadi sandaran kreasi Yoyok yang ini. Kesakralan itu tentu tak secara wantah dimunculkan lewat peranti pertunjukan seperti sebaran kelopak mawar merah di antero panggung, aroma setanggi, atau sembilan anyaman janur kuning pada dua sisi panggung seperti pada ''Bedhaya Sanga''. Muatan filosofis dan gerakan-gerakan simbolis pada tarian itu secara tak langsung menciptakan kesakralan tertentu.
Yoyok juga setia pada jumlah penari bedhaya yang (selalu) sembilan. Perlu diketahui, pada awalnya bedhaya ditarikan tujuh penari perempuan sebelum menjadi sembilan. Adanya sembilan penari laki-laki juga bukan sesuatu yang ahistoris. Bedhaya pada perkembangannya juga menciptakan varian tari yang dilakukan sembilan laki-laki atau disebut Bedhaya Kakung. Ini bukti lain kesetiaan Yoyok. Bedanya, dia menggabungkan penari perempuan dan laki-laki dalam satu koreografi.
Meski begitu, Yoyok menciptakan pola-pola lain yang bersifat ''mendobrak'' kesakralan bedhaya. Misalnya tak mungkin penari menari bedhaya di atas punggung penari lain. Alasanya, ''Saya ingin bicara soal harmoni dalam kehidupan. Penari yang punggungnya jadi pijakan itu semata sebagai simbol bumi. Kalau Anda cermat, beberapa konfigurasi gerakan mereka menyimbolkan gerak alam seperti ombak, angin, dan sebagainya."
Dobrakan lainnya pada busana penari yang bernuansa pesisiran dan tergerainya rambut penari perempuan. Kata Yoyok, umumnya penari bedhaya menyanggul rambutnya.
Di luar itu, bisa disimpulkan bahwa ''Bedhaya Sanga'' itu menarikan kehidupan. Tapi dengan muatan filosofis yang lumayan berat itu, Anda tak perlu mengerutkan kening ketika menyaksikannya. Cukup duduk dan nikmati sajalah, dan setelah pulang, syukur-syukur Anda mulai memikirkan muatan nilai apa yang telah dibabar tarian itu. (*)

Suara Merdeka, 8 Februari 2009

0 komentar: