Tari Tradisional Gak Ada Matinya...

on 07 Februari, 2009


Oleh Saroni Asikin

Agnes Monica sedang beraksi di panggung dalam tayangan langsung televisi. Di belakangnya, beberapa penari riang berjingkrak dalam gerakan rampak. Maklum, lagu lantunan Agnes berirama pop R 'n B yang lumayan ngebeat. Ketika itu, bagaimana sekiranya yang jadi pengiring Agnes itu para penari tradisional?
''Nggak mungkin banget lah ya
w.'' Mungkin itu jawaban Anda. Sebab, jarang atau bahkan tak pernah kita melihat di televisi, aksi penyanyi disertai tarian tradisional, khususnya dari Jawa. Kalau penari berkostum daerah tanpa menarikan satu jenis tari tradisional barangkali beberapa kali pernah kita lihat. Dan karena selama beberapa jam dalam sehari kita tak pernah lepas dari televisi, juga kerapnya tayangan serupa itu, jangan-jangan kita lalu beranggapan bahwa yang disebut tarian ya seperti yang kita kerap lihat itu. Jangan-jangan anak-anak malah tak tahu bahwa kita memiliki kekayaan tarian tradisional yang dahsyat, apalagi setelah ekstrakurikuler di sekolah (yang di dalamnya sesekali bermateri tarian tradisional) dihapus.
Ah, baiknya tak perlu mengukuhi pengandaian yang menyedihkan seperti itu. Bagaimana bila pertanyaan di akhir alinea pertama tulisan ini kita balik? Ya, bagaimana seandainya aksi penari tradisional diiringi musik dan lagu Agnes Monica, bukan gamelan? Bisa saja, malah kalau ''beruntung'', kreasinya bi
sa dianggap tarian kontemporer berbasis tradisi.
Tapi setidaknya itu pernah dilakukan Sri Paminto, pelatih tari yang mengajarkan tarian tradisonal Jawa sejak tahun 1994. ''Suatu ketika anak-anak yang saya latih seperti tak bersemangat. Di tengah-tengah latihan, ada anak yang minta saya mengganti iringan gamelan dengan musik pop. Lhadalah, apa pula ini? Tapi akhirnya saya penuhi dengan pertimbangan itu sebagai pemancing agar mereka kembali bersemangat. Katakanlah sebagai pemanasan sebelum latihan yang seb
enarnya.''
Paminto menjumpai beberapa alasan anak-anak dan remaja kurang meminati tari tradisional. Tarian itu dianggap jadul, mati gaya, dan sama sekali nggak ngetren. Ia dianggap tak sememikat tarian modern, sebut saja disko atau tarian seksi. Yang laki-laki dihinggapi kekhawatiran bakal dianggap wandu alias banci.

***

TAPI benarkah anak-anak dan remaja kita tak berminat pada tarian tradisional? ''Tidak,'' jawab Bambang Priyambodo alias Yoyok, koreografer, penari, dan pemilik Sanggar Greget di Jl Pamularsih, Semarang.
Sejak sanggar itu masih bernama Kusuma Budaya yang dikelola Soedibyo dan Sri Susanti (orang tua Yoyok), lalu malih nama jadi Geget Wilang pada tahun 1982, dan berubah lagi menjadi Greget pada tahun 1992, ia tak pernah kekurangan siswa yang berlatih tari. Apalagi ketika materi pelatihan tak sebatas tarian, tapi juga karawitan, pedalangan, dan koreografi, minat anak-anak dari usia TK hingga anak kuliahan semakin besar.
''Saya pikir, anak-anak dan remaja tak kehilangan minat terhadap kesenian tradisional. Bahkan, ada antusiasme yang besar pada diri mereka, misalnya untuk bisa menari tradisional. Yang terpenting bagaimana sebuah sanggar mengelola proses pembelajarannya,'
' tutur Yoyok.
Dia memang mengelola sang
garnya sangat mirip sekolah formal dengan sistem pembelajaran dan kurikulum yang terpola, lengkap dengan ujian per semester dan pemberian rapor. Siswa dibagi ke dalam kelas-kelas sesuai usia. Kelas anak-anak terdiri atas kelas pemula A dan B (B1 dan B2) untuk anak usia TK hingga kelas 2 SD, dan kelas untuk anak usia kelas 3-6 SD yang dianggap lulus bila telah menempuh 6 semester. Kelas dewasa dimulai usia SMP dengan masa studi 8 semester. Dengan pola seperti itu, setiap tahun rata-rata Greget memiliki sekitar 150 siswa yang dididik oleh 15 guru dan 5 dosen terbang yang sebagian besar para penari dan dosen STSI Surakarta antara lain S Pamardi SKar Mhum, Saryuni SKar MHum, dan penari Jarot B Darsono.
Tentu saja bukan pekerjaan gampang membuat siswa bertahan menempuh pembelajaran hingga purna. Hanya belajar dan berlatih saja sangat mungkin menjadikan siswa bosan. Mereka harus selalu dimotivasi terus-menerus. Salah satunya dengan cara mengajak mer
eka pentas di luar sanggar, sekaligus sebagai uji kemampuan mereka. Untuk hal ini, sudah tak terbilang Yoyok membawa siswanya pentas di berbagai tempat. Tak hanya di Indonesia, mengajak mereka unjuk kebolehan menari di mancanegara pun telah berkali-kali dilakukan, sebut saja ke Malaysia, Singapura, dan Jepang.
Minat yang bagus di kalangan anak-anak dan remaja untuk berlatih tari tradisional juga diungkapkan Wiyatno, pendiri dan ketua sanggar Yasa Budaya di Semarang. ''Luar biasa sebenarnya minat masyarakat terhadap tari tradisional. Sayangnya, kegiatan di sanggar-sanggar tari kurang diekpose media,'' ujarnya.
Dia bilang, banyak orang tua yang ingin memenuhi keinginan anaknya berlatih tari kesulitan mencari alamat sanggar. ''Yang jelas, setelah ekstrakurikuler dihapus di sekolah, sanggar-sanggar tari bakal menjadi alternatif mereka yang berminat.''

***

KALAU di Semarang, ada antusiasme besar terha
dap tari tradisional, bagaimana di Solo yang kaloka sebagai pusat kebudayaan Jawa? Bolehlah, pengandaian menyedihkan pada awal tulisan ini kita abaikan kalau kita menyigi dinamika pelatihan tari tradisional di kota itu, yang bisa diperikan dengan ungkapan ''gak ada matinya.''
Dengar saja informasi dari Gembong Hadiwibowo, staf Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Surakarta. ''Yang tercatat di kantor kami, khusus untuk sanggar tari ada 12 sanggar. Namun di luar yang terdaftar ini, sebenarnya masih ada lagi sanggar lain yang juga tumbuh dengan baik.''
Kalau di kota itu ada 6 kecamatan, bisa disimpulkan masing-masing punya dua sanggar tari. Kalau dengan yang belum dicatat, tambah Gembong, jumlahnya pasti lebih banyak dari itu
Di Pura Mangkunegaran, misalnya, ada dua sanggar, yaitu Suryasumirat dan Kinaryo Suryasumirat Pura Mangkunegaran. Tak jauh dari Mangkunegaran, di sekitar Sriwedari, ada dua sanggar tari lagi: Pusat Olah Seni (POS) Semarak Candrakirana dan Meta Budaya di Pendapa Joglo Sriwedari. Meski jaraknya hanya terpisah sekitar puluhan meter, menariknya kedua sanggar tersebut sama-sama memiliki siswa yang lumayan banyak.
Agak ke barat lagi, ada sanggar Arena Langen Budaya di kawasan Jalan Transito, Pajang, Laweyan. Lalu ke timur, tepatnya di balai Kelurahan Serengan terdapat sanggar Sarwi Retno Budaya. Masih terus ke timur, di kawasan Baluwarti Keraton Surakarta ada sanggar Peni Budaya, kemudian Ekasanti Budaya di Hotel Sahid, sanggar Pucangarum di Pucangsawit Jebres, Sarotama di TBJT Surakarta dan masih ada lagi sanggar Padmasusastra dan Pagutri.
Berapa jumlah peminatnya?
''Sekarang jumlah anak yang bergabung di sanggar kami ada sekitar 300-an. Jumlahnya selalu dalam kisaran itu. Sebab meski ada yang sudah lulus dan keluar, tapi kemudian selalu ada generasi penggantinya,'' ujar Esti, Humas Sanggar Suryasumirat.
Tentu itu bukan jumlah yang sedikit dan itu saja baru dari satu sanggar. Jadi bisa, dibayangkan berapa anak-anak yang bergabung di sanggar tari di Kota Solo yang jumlahnya lebih dari 12. Yang pasti, keberadaan sanggar-sanggar tari itu memiliki arti yang sangat penting bagi Solo.
''Paling tidak, aktivitas di sanggar-sanggar itu ikut menyokong sebutan Solo sebagai Kota Budaya,'' ujar Wahyu Santosa Prabowo, pengamat budaya dari ISI Surakarta.
Jadi, boleh saja dominasi ''pembelajaran oleh televisi'' dan media lain, khususnya dalam hal tarian, seolah-olah mengalpakan ingatan terhadap orang tari tradisional, dinamika pelatihan tari jenis itu tetap hidup. Ya, tari tradisional ''gak ada matinya'' kalau masih ada orang yang peduli. Tentu tak cuma para pemilik sanggar, pemerintah dan masyarakat seyogianya ''malu'' kalau tak ikut nguri-uri. (*)


Menari Itu Menyehatkan

BISAKAH keterampilan menari tradisional untuk penghidupan? Coba saja bandingkan setidaknya dengan latihan tari seksi. Penarinya punya sebutan memesona: sexy dancer, yang gaul dan diminati dalam acara-acara khas anak muda, entah di kafe atau sebagai pengiring penyanyi top.
Orang yang bertahun-tahun mengelola atau melatih tari tradisional seperti Bambang Priyambodo, Wiyatno, atau Sri Paminto pun tak bisa menjawab dengan yakin ketika ditanya seperti itu.
''Sering saya ditanya begitu. Ya, untuk apa? Saya hanya bisa bilang, 'kalau terampil njoget, kamu bisa ikut lomba lalu berprestasi. Prestasi itu membanggakan dan kalau kamu menggeluti bidang lain, kamu punya kelebihan berbeda dari orang lain','' cerita Paminto.
''Banyak orang tua sebelum mendaftarkan anaknya ke sanggar sering menanyakan manfaat latihan nari. Menurut saya, menari itu tamba (obat) stres, juga penyaluran hobi. Dulu ada orang tua yang tadinya tak setuju anaknya ikut latihan nari. Tapi si anak sangat berminat, dan setelah berjalan lama si orang tua itu mengakui telah salah menilai. Dia merasa anaknya jadi punya sikap yang bagus setelah ikut menari,'' ujar Wiyatno.
''Benar, secara formal tak ada pekerjaan yang bisa diperoleh dari keterampilan menari. Latihan menari di sanggar jelas beda dengan lulusan sekolah atau akademi tari yang selulusnya bisa jadi guru tari. Meski begitu, seseorang tetap berolah manfaat yang besar dari latihan menari. Kalau tidak jadi sumber penghidupan utama, ia bisa jadi sumber sampingan,'' kata Bambang Priyambodo alias Yoyok.
Dia mencontohkan siswa-siswa lulusan sanggarnya yang sekarang menjadi pelatih di sekolah-sekolah. Beberapa dari mereka bahkan mendirikan sanggar sendiri. ''Ada yang membuka sanggar di Semarang, Magelang, Demak, dan Cilacap. Jelas, mereka bisa hidup dari keterampilan menari. Dalam proses pembelajaran di sanggar kami, saya selalu menekankan pada siswa-siswa bahwa setelah lulus mereka punya keterampilan yang bisa didayagunakan.''
Hanya saja, tambah Yoyok, seyogianya latihan menari tak melulu dimotivasi oleh keterampilan yang nantinya bisa dijadikan pekerjaan. Ada yang lebih dari itu. Yakni, kesadaran dan kepekaan spiritual, juga olah budi pekerti.
''Saya tak hanya mengajar tari, tapi juga moralitas. Bahkan hal itu yang lebih kami tekankan di sanggar. Sebuah tarian diajarkan tak melulu gerakan-gerakan tubuh semata. Tarian juga mengajarkan nilai-nilai. Dengan bahasa sederhana yang bisa ditangkap siswa, dalam proses pembelajaran, kami mentransfer nilai-nilai itu. Bahkan, menari buat saya adalah terapi kenakalan bagi anak-anak.''
Terapi kenakalan? ''Contoh kecil, seorang anak yang tak punya aktivitas bisa saja menganggu teman-temannya. Coba ajari saja dia gerakan-gerakan sederhana dari tari tradisional. Pasti yang tadinya banyak tingkah, bisa berubah. Apalagi sebenarnya menari itu menyehatkan. Latihan menari itu olah tubuh, juga olah jiwa, dan itu seperti olahraga, bukan?''
Jadi, dengan menari tradisional, kita bisa sehat badaniah dan rohaniah. Itu karunia tak main-main, syukur-syukur bisa hidup darinya. (*)

Kontributor bahan: Wisnu Kisawa
Foto-foto: Saroni Asikin
Suara Merdeka, 11 Januari 2009



0 komentar: