Spiritualitas Ya, Agama Ya

on 07 Februari, 2009

Oleh Saroni Asikin

Beberapa waktu lalu, fenomena pencarian spiritualitas baru kembali bergaung. Ada yang berinduk pada ajaran suatu agama, tapi ada pula yang menganut paham universalisme. Yang pertama misalnya Tarikat Naqsabandi Haqqani Rabbani, dan yang kedua Anand Ashram. Ada pula yang ekstrem menganut ajaran filsafat perenialisme yang berkehendak menggabungkan semua agama dan melebur agama formal yang ada seperti dilakukan Lia Eden.
Itu baru beberapa kelompok. Lainnya, banyak sekali. Tapi apa sebenarnya yang mereka cari? Tak cukupkah seseorang menganut suatu agama tertentu, menjalaninya dengan kukuh, dan terayomi, tercerahkan serta terpuaskan dahaga spiritualitasnya?
Norma Harsono (56), sejak lama mengikuti jalan para filsuf yang suka mencari kebenaran mengenai banyak hal. Dia juga mendalami ilmu keagamaan lewat banyak cara. Hidupnya tenang, tenteram, dan damai. Namun Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta membuat kehidupannya yang adem ayem itu rusak. Dia yang tinggal di Kampung Rambutan, Jakarta Timur itu jadi terdera kecemasan dan kegelisahan yang serius.
''Setiap saat saya selalu merasa ketakutan. Saya tak mau terus-menerus seperti itu. Saya cari cara untuk mengatasinya. Lalu saya belajar meditasi di Anand Ashram. Setelah beberapa saat, saya sudah bisa mengatasi rasa takut itu. Hidup saya kembali tenang,'' ujarnya ketika dihubungi lewat telepon.
Hampir 11 tahun dia aktif menjalani semua program di tempat yang dipimpin oleh Anand Krishna itu. Dahaga spiritualitas dan yang lebih penting kenyamanan psikologisnya terpenuhi. Saat ditanya apakah keterlibatannya di Anand Ashram mengganggu keyakinan dan peribadatan agama yang dia anut, tegas dia menyangkal, ''Oh tidak. Saya Islam, dan saya merasa jadi lebih baik dalam beribadat. Itu karena hati saya merasa tenteram dan damai setelah menerima ajaran spiritualitas di Anand. Bagaimana bisa tenang beribadat kalau hati kita selalu gundah?''
Saya singgung pula soal kecenderungan ''percampuran beberapa ajaran agama'' dalam aktivitas panduan Anand Krishna. Saya bilang, suatu ketika saya datang ketika Anand memandu kegiatan Tari Sufi Mehfil di Semarang. Doa yang lelaki itu ucapkan berasal dari beberapa agama.
''Tidak mungkin itu, Mas,'' sergah Norma, ''Kalau dibilang aktivitas kami mencampurkan ajaran beberapa agama, itu reaksi orang yang paranoid terhadap kami. Tidak mungkin misalnya saya berdoa 'Salam Maria'. Dan Pak Anand tak pernah mencampuri urusan ritual agama anggotanya.''
Gede Merada, lelaki Bali beragama Hindu dan aktif di Anand Ashram sejak 1997, juga berpendapat serupa. ''Pencerahan spiritualitas di sana (Anand Ashram) jadi memperkuat keimanan kami masing-masing. Saya tak hanya bisa menghargai pemeluk lain, tapi bahkan bisa mengapresiasinya. Saya jadi tahu misalnya mengapa orang Islam melakukan ritual peribadatan tertentu sesuai keyakinannya. Jadi, keliru kalau disebut ada percampuran agama. Yang ada, kami diminta menjalankan agama yang kami anut dengan benar,'' katanya ketika dihubungi lewat telepon sedang terburu-buru mengikuti upacara keagamaan di Bali.

***

MEMANG bagus kalau pencarian spiritualitas yang berbeda jadi memperkuat keyakinan agama yang dianut seseorang. Apakah selalu seperti itu?
Lewat wawancara lisan dan dilengkapi tulisan tangan yang dikirim lewat faksmili, seorang ibu di Jakarta yang tak mau disebut namanya, memaparkan ketertarikan awal, aktivitas yang dijalani, hingga memilih keluar dari Anand Ashram karena merasa lambat laun proses yang dia jalani di sana bertabrakan dengan akidah keislamannya.
Dalam tulisan itu disebutkan bahwa menjelang bulan Ramadan si ibu mendapat selebaran dari Anand Ashram yang berisi ajakan untuk membersihkan diri sebelum beribadat puasa. Programnya antara lain stress management, dan katarsis atau pembersihan diri dari rupa-rupa perasaan negatif dan trauma masa lalu dan kekhawatiran terhadap masa depan.
''Saya segera mendaftar karena diselengarakan di institusi Islam terpandang, yaitu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN Jakarta),'' tulis si ibu, ''Sama sekali saya tak khawatir program itu mengganggu akidah saya.''
Setelah itu, dia aktif di Anand Ashram. Dia sangat mengagumi pemikiran Anand Krisna. Tak hanya pemikirannya, sikap kesehariannya yang rendah hati, misalnya, selalu duduk bersama anggota ketika ada acara, membuat dirinya semakin kagum.
Tapi semua itu tak bertahan lama. Semakin dekat dengan Anand Krishna, dia mulai merasakan banyak hal yang tak dia sukai. Sikap sang pemimpin mulai terlihat tidak lagi rendah hati dan cenderung otoriter. Misalnya, lelaki itu suka ''mengadu'' satu anggota dengan anggota lainnya, juga sering tidak menghargai orang yang telah berjasa terhadap Anand Ashram. Banyak orang seperti itu yang disepak keluar dari keanggotaan. Mengomentari itu, si ibu menulis, ''Hanya diangap sebagai pijakan anak tangga yang diinjak dan ditinggalkan setelah memijak anak tangga berikutnya. Dan kalau memimpin acara, dia lebih suka duduk di tempat yang tinggi seperti takhta.''
Semua itu masih membuat si ibu bertahan. Tapi pada pertengahan 2003, dalam suatu kelas Jumat, Anand Krishna mengucapkan sesuatu yang sangat menohok keimanannya. Salah satunya adalah ''Ada orang yang sudah lima tahun di sini masih belum dapat meninggalkan agamanya. Padahal, di sini kalian lebih mudah mengakses energi Hare Krishna.''
''Apa yang saya dengar ketika itu bagaikan peluit aba-aba untuk segera meninggalkan Anand Krishna,'' tulisnya yang diakhiri kalimat syahadat.

***

YA, bisa saja suatu ketika kita mengalami kegersangan spiritual yang disebabkan pelbagai hal. Kita merasa jauh dari Tuhan dan menganggap agama yang kita anut tak lagi bisa menyirami kekeringan rohaniah itu. Dan ketika kita kekeringan dan kehausan spiritual, sementara banyak tawaran dari kelompok-kelompok yang ''berjanji'' memberi curahan air spiritualitas, kita mungkin akan ke sana.
Tak hendak menyimpulkan, tapi sangat mungkin kemarakan aktivitas pencarian spiritualitas baru sekarang ini berbanding lurus dengan kenyataan bahwa sebagian besar dari kita sedang mengalami kekeringan itu.
Dan hal seperti itu tentu bukan fenomena yang baru. Tahun 1960-an, orang-orang di Eropa, mengalami krisis multidimensional dalam rupa perasan teralienasi (terkucil), stres, depresi, dan macam-macam krisis kemanusiaan. Efeknya, sebagian besar dari mereka tak lagi memercayai institusi agama formal. Mereka menganggap ajaran Kristen dan humanisme sekuler dalam memberikan petunjuk spiritual dan etik untuk masa depan telah gagal. Itu artinya mereka harus mencari cara pemenuhan hasrat spiritulitas yang berbeda untuk mengatasi krisis multidimensional tersebut. Di Inggris misalnya muncul kelompok Light Groups, Findhorm Community, atau Wrekin Trust yang kecenderungan spiritualitasnya disebut sebagai New Age Movement (Gerakan Zaman Baru). Efeknya meluas, terutama di Barat pada dekade 1970-an, dan dua dekade berikutnya, wacana spiritualitas yang diusung gerakan itu menggaung di antero jagad.
Kalau ditilik jauh lebih ke belakang, di Eropa sudah muncul gerakan yang bersandar pada konsepsi ''semua agama sama'' yang dipengaruhi oleh para teosof dan freemason. Baca saja semboyan yang mereka anut: There is no religion higher than truth (Tak ada agama hakiki selain kebenaran). Ajarannya begitu ekstrem misalnya keinginan untuk menyatukan semua agama yang ada di muka bumi. Itu dibuktikan dalam ucapan Annie Bessant, tokoh teosofi paling menonjol ketika itu: ''Sesungguhnya agama-agama adalah ungkapan yang lahir dari hikmah ilahi yang berasal dari Zat yang Satu. Oleh karenanya, keberagaman dan perbedaan dalam agama, bukanlah inti dari ajaran agama. Agama-agama saling berbagi kebenaran, karenanya agama-agama saling melengkapi dan harus disatukan'' (tilik buku Kaki Tangan Dajjal Mencengkeram Indonesia karya Abu Fatiah Al-Adnani, Granada Mediatama, 2008:31).
Jadi, apakah ketika seseorang menemukan oase yang memuaskan dahaga spiritualitasnya, dia merasa jadi lebih dekat dengan Tuhan atau malah menjauhinya? Apakah dia jadi pemeluk teguh agama yang dia anut atau malah mengalpakannya? Atau apakah kita akan mengamini ramalan suami istri futurolog John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Global Paradox akan adanya kecenderungan ''spirituality yes, organized religion no'', atau membuangnya ke udara hampa?
Anda bisa mengambil simpulan dari kesaksian tiga orang di atas. Akan lebih nyaman bila kita sama-sama baiknya dalam memahami spiritualitas dan agama yang kita anut. Jadi, spirituality yes, religion (semakin) yes. (*)

Pamor Agama Turun?

TENTU saja kaum agamawan tak bisa bergeming menyaksikan umat yang mereka ayomi mencari pencerahan baru di luar syariat yang mereka ajarkan. Apakah mereka tak cukup mengikuti ujaran-ujaran kaum agamawan? Ada anggapan, fenomena itu disebabkan karena para pencari spiritualitas baru itu berkesimpulan agama anutan mereka tak bisa memberikan solusi persoalan kehidupan secara konkret.
''Benar, fenomena itu jadi tantangan kaum ulama untuk mencari solusinya. Tapi yang jelas ini masalah komunikasi. Banyak komunitas yang ingin memahami Islam secara kaffah malah jadi komunitas yang eksklusif. Kenapa tidak memberdayakan lembaga agama yang netral seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai tempat bertanya ketika mereka sedang bimbang?'' ujar Prof Dr Ahmad Rofiq MA, Sekretaris Umum MUI Jateng dan Rektor Unwahas Semarang.
Dia menambahkan, ''Apakah orang yang merasa tak bisa mencari solusi dari ajaran agamanya itu sudah menjalankan agama dengan benar atau belum? Dia sudah memahami ilmu agama dengan benar belum? Jangankan yang baru sedikit-sedikit tahu tentang agama, orang yang sudah matang dalam ilmu agama pun sering mengalami ketidaknyamanan beribadat. Saya kerap mengalami itu dan itu menyadarkan saya bahwa masih banyak ilmu agama yang harus saya pelajari.''
Adi Ekopriyono, peminat persoalan spiritualitas yang sedang menyelesaian disertasi mengenai humanisme spiritualitas Jawa (kejawen) berpendapat, banyak penganut agama menyikapi agama semata pranata atau institusi sosial. Itu jelas mengurangi kesadaran religiositas.
''Itu jelas jadi tantangan serius kaum agamawan. Mereka harus cari cara yang bagus untuk membangkitkan kesadaran religiositas,'' tandasnya.
Hanya saja, tambah dia, kebangkitan religiositas sering disertai beberapa kerancuan, khususnya antara agama dan budaya. ''Manifestasinya ada dalam simbol-simbol. Kristen pakai salib, Islam pakai jilbab. Itu sebenarnya agama atau budaya? Banyak perilaku budaya yang ditafsirkan sebagai perilaku agama.''
Dan kerancuan itu secara tak langsung membuat orang beranggapan agama tak bisa menjawab persoalan-persoalan nyata. ''Agama bisa disebut berfungsi kalau bisa memanusiakan manusia. Tentu itu berhubungan dengan kehidupan nyata. Kalau tidak, ya gagal menjalankan fungsinya.''
Gde Prama, spiritualis, juga berpendapat bahwa pamor agama memang sedang turun. Dia mencontohkan, di Eropa yang datang ke gereja hanya 10 persen dari seluruh penganut Kristen. Maka, orang di sana jadi merasa tak lagi punya pegangan hidup. Spiritualitaslah yang jadi jawabannya. Mereka beranggapan, spiritualitas itulah yang bisa menyatukan kelompok-kelompok yang bertikai ratusan tahun lamanya. Penganut agama yang berbeda-beda bisa masuk ke sebuah ruangan yang sama dengan kesadaran spiritualitas yang sama.
Bagaimana di Indonesia? ''Anak muda Indonesia juga kian tekun berburu spiritualitas dan religiositas. Kian banyak pula majelis taklim yang mengundang penganut keyakinan lain.''
Di luar itu semua, ada anggapan bahwa pencarian spiritualitas baru selain disebabkan ketidakpuasan terhadap lembaga agama, juga karena beratnya beban sosial dan arus modernisasi. Kalau ternyata bukan karena itu semua, patut kita renungkan pertanyaan Ahmad Rofiq: ''Sudahkah kita menjalankan agama dengan sebaik-baiknya?''
Atau dengar pula ucapan Gde Prama, ''Jika Anda Islam, ya lakukan syariat Islam sebaik-baiknya. Jika Anda Kristen, ya lakukan Sepuluh Perintah Tuhan dengan baik. Jika Buddha, ya lakukan Sila sebaik-baiknya. Itu saja.''Intinya, kata Gde, semua proses itu semata untuk mencari kebersihan dan kebeningan batin. ''Jika Anda Islam, ya lakukan syariat Islam sebaik-baiknya. Jika Anda Kristen, ya lakukan Sepuluh Perintah Tuhan dengan baik. Jika Buddha, ya lakukan Sila sebaik-baiknya. Itu saja.'' (*)

Kontributor bahan: Triyanto Triwikromo
Suara Merdeka, 18 Januari 2009

0 komentar: