Pasrah pada Garis Tuhan

on 24 Januari, 2009

Oleh Saroni Asikin

Miskin atau kaya sama sekali tak ada hubungannya dengan kelompok etnis tertentu. Misalnya, kelompok etnis A selalu hidup berkecukupan, sementara yang B pastilah berkekurangan. Tidak, sama sekali tak bisa disimpulkan seperti itu. Pun ketika kita melihat kelompok etnis Tionghoa. Kita tak bisa nggebyah uyah: mereka kaya-kaya. Sebab, tak sedikit dari mereka yang hidup miskin.
Kam Tjoei Giok (76), misalnya, bertahun-tahun hidup hanya dari uang pensiun sebagai tukang jahit perlengkapan tentara milik Kodam VII/Diponegoro (sekarang Kodam IV). Itu pun katanya hanya cukup buat makan dia dan anak sulungnya. Tempat tinggalnya di Jalan Serayu I No 70 Semarang itu pun lebih mirip rumah liliput. Luasnya 3x5 meter dengan tinggi pintu 1 meter. Untuk masuk, orang dewasa bertubuh normal harus membungkuk dengan kepala ditekuk.
Ruang tamunya hanya selebar meja pingpong. Saat ditemui, perempuan yang dipanggil Mak Giok itu tengah tercenung sembari menunggui Cintya (11 bulan), canggahnya, yang sedang tidur. Tak ada dipan. Tubuh si canggah hanya dibaringkan di lantai semen, beralas kardus, berlapis perlak, dan kasur busa tipis. Dan ruang sesempit itu masih disesaki oleh rupa-rupa barang: empat kursi usang tempat menaruh kardus dan onggokan cucian, sebuah mesin jahit tua, sebuah ember dan beberapa kardus yang isinya entah apa.
Tadinya itu rumah sewa pemberian salah seorang besannya. Dan di tempat seperti itu, mulai tahun 1972, dia dan sembilan anaknya melewati hidup. Begitu susahnya kehidupan Mak Giok sehingga ketika status rumahnya dibalik nama menjadi HM, tak sekali pun direnovasi.
''Selama tinggal da sini, saya baru dua kali ninggikke lantai. Itu karena dikejar banjir. Kalau tidak, banjir bisa setinggi lutut. Wong sudah ditinggikke saja banjirnya masih sak polok (mata kaki).''
Di tempat lain, di Dukuh Sidodadi Desa Karangturi Kecamatan Lasem, Rembang, beberapa keluarga Tionghoa juga hidup pas-pasan, bahkan sering pula berkekurangan. Siek Tian Nio (63), salah satunya, bertahun-tahun mengandalkan hidup dari membuat yo pia, sejenis kue manis. Dengan penghasilan yang tak besar itu dia harus menghidupi empat anak.
''Sekarang sih anak-anak sudah pada mentas (mampu menghidupi dirinya). Dulu waktu masih kecil-kecil, repot sekali. Kalau ndak dibantu saudara-saudara papae (suaminya yang telah meninggal) yang ada di Semarang, anak-anak saya ndak bakalan bisa kuliah.''
Perlu diketahui, terbentuknya komunitas orang Tionghoa miskin di dukuh tersebut erat kaitannya dengan sejarah imigrasi orang-orang Fujian ke Lasem. Berdasarkan Lasem Kota Kuno Pantai Utara Jawa yang Bernuansa Cina karangan Samuel Hartono dan Handinoto, para imigran itu awalnya menetap di Dasun sebelum membuat pemukiman baru yang sekarang disebut Desa Karangturi. Umumnya, mereka tak bisa meninggalkan kebiasaan berjudi dan bergundik dengan perempuan Tionghoa atau pun Jawa. Salah satu efeknya, orang-orang yang melarat karena berjudi kemudian tersingkir dan membuat pemukiman baru di sebelah selatan Desa Karangturi yang sekarang disebut Belik. Tempat tersebut pun tumbuh menjadi daerah kumuh dan hitam di Lasem.
Menurut M Hoeda (63), mantan Kepala Bappeda Kabupaten Rembang yang teiyek (warga asli) Lasem menuturkan, keberadaan Belik membuat Desa Karangturi sangatlah kontras. Di satu sisi, warga Karangturi yang bermukim di dekat jalur pantai utara (pantura) terkenal kaya raya. Namun, tak kurang dari 500 meter dari pemukiman yang kaya raya itu terdapat Belik yang penuh dengan orang Tionghoa miskin. ''Hingga akhir tahun 1960-an, Belik penuh dengan Tionghoa miskin. Belik juga menjadi tempat prostitusi dan perjudian, sampai-sampai orang Lasem tak mau ke sana. Setelah peristiwa G30S, sebagian besar dari mereka pergi, dan hanya beberapa saja yang tinggal hingga sekarang,'' paparnya.

***

KOMUNITAS Tionghoa miskin yang lebih besar bisa kita jumpai di Tangerang, Banten atau populer disebut China Benteng. Mereka hidup sebagai nelayan miskin, pegawai toko, kuli panggul, tukang becak, tukang ojek, tukang sapu jalanan, dan pekerjaan kasar lainnya.
''Suami saya hanya pedagang bubur yang modalnya pinjam dari bank keliling dan harus bayar tiap hari. Kalau pulang,paling dia bawa Rp 20 ribu. Habis untuk beras, minyak tanah, dan lauk tahu tempe,'' cerita salah seorang warga bernama Nancy Kim Ong (39).
Warga lainnya, Ong Gian (49), juga tak bisa mengandalkan hidupnya sebagai petani. ''Untuk nyambung hidup, saya jadi awak Gambang Kromong. Itu pun tak selalu ditanggap. Tapi menjelang Sincia (Imlek) ini, bolehlah berharap dapat tambahan rezeki.''
Go Jin (47) yang sehari-hari ngojek, juga sangat mengharapkan dapat tambahan rezeki dari Gambang Kromong. ''Bisa nambah uang dapur,'' ujarnya.
Tak hanya kesulitan mencari penghidupan, umumnya orang China Benteng tak mendapat pendidikan layak. Ketiadaan biaya membuat banyak anak mereka putus sekolah, bahkan tak sekolah sama sekali. Itu masih ditambah oleh kesulitan mengurus kewarganegaraan atau akte kelahiran. Apalagi banyak di antara mereka menikah secara adat dan tidak didaftarkan ke catatan sipil.
Berapakah jumlah mereka? Menurut Tan Lie, Sekretaris Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang, setidaknya di wilayah Kedaung Barat Kecamatan Sepatan Timur ada 600 keluarga miskin. Itu belum termasuk yang ada di Legok, Mauk, Sewan, atau Kebon Baru. Tak hanya di Jawa, orang-orang Tionghoa miskin juga kita jumpai di Singkawang, Kalimantan Barat.
Di luar itu, ada anggapan, orang-orang Tionghoa miskin itu sudah garis nasibnya memang begitu. Berdasarkan tradisi konfusianisme, seorang Tionghoa tak bakal bergeming melihat saudaranya hidup dalam kesusahan. Mereka yang lebih beruntung akan selalu mengulurkan bantuan, khususnya pada orang-orang yang terikat hubungan kekeluargaan atau marga. Konon, seorang Tionghoa yang miskin dibantu tiga hingga lima kali untuk melakukan suatu usaha tertentu. Katakanlah berdagang. Kalau tetap nasibnya tak berubah, maka orang sekeluarga atau semarga boleh merasa lepas dari kewajiban membantu dan menganggap kemiskinan saudaranya itu takdir Tuhan.
Benarkah demikian? Pemerhati Ketionghoaan Harjanto Halim MSc membenarkan bahwa budaya saling bantu memang dilakukan orang Tionghoa. ''Biasanya itu terjadi kalau ada hubungan persaudaraan. Kalau ada yang kaya, dia akan membantu modal usaha saudaranya yang miskin. Bahkan, kalau ada yang usahanya bangkrut, saudara lainnya akan membantu habis-habisan. Ketika zaman Orde Baru begitu kenyataannya, tapi sayang kini muncul rasa individualistis. Kalau membantu, ya sekadarnya saja. Bahkan, generasi sekarang, sama-sama cucu atau cicit pun banyak yang tak saling mengenal.''
Mungkin benar, ada kecenderungan individualisme seperti yang dipaparkan Halim. Tapi pudarnya budaya saling bantu juga bisa karena orang Tionghoa yang miskin merasa malu kalau harus ''bersilaturahim'' pada saudara mereka yang kaya. Ada banyak dari mereka yang tak ingin dicap mau meminta belas kasih dari saudaranya.
''Kalau diberi ya diterima. Kalau ndak, ya ndak perlu minta-minta. Adik saya di Madura kaya. Tapi saya ndak pernah minta-minta sama diae,'' ujar Mak Giok.
Tan Soe Ing (62) yang tinggal di Bugangan pun bersikap serupa. Dia yang selalu hidup berkekurangan, suatu ketika akhirnya menuruti saran mendiang suaminya untuk meminjam uang pada saudaranya yang berpunya. Bukannya dipinjami melainkan diberi, dan itu tak membuat janda tua itu enak hati. ''Mangkane saya males dateng ndok rumahe saudara, terutama yang kaya. Takut dikira mau minta-minta,'' ujarnya.
Siek Tian Nio yang mengaku masih sesekali dibantu saudara-saudara suaminya di Semarang juga mengalami keengganan serupa itu. ''Mereka pasti ngasih kalau saya datang ke sana. Mereka bilang, bantuan itu sebenarnya bisa ditransfer lewat bank, tapi kalau saya ndak datang, mereka bilang nantinya malah putus persaudaraan.''
Lalu, apakah mereka iri pada kaum seetnis yang kaya? ''Tidak, kaya apa miskin itu sudah digariske Tuhan,'' tandas Mak Giok.
Sepakat dengan Mak Giok, beberapa orang China Benteng yakin, setiap manusia memiliki garis hidupnya sendiri-sendiri. ''Selain nasib, semua tergantung manusianya, apakah mereka mau berusaha atau tidak. Mereka yang kaya tentu lebih mampu membaca peluang dan memanfaatkannya,'' tandas Ong Gian. (*)

Tradisi Berderma

''MEMBANTU sesama merupakan nilai luhur ajaran Kwan Im yang telah bersumpah tidak akan mencapai nirwana sebelum penderitaan manusia di dunia berakhir,'' ujar Go Jin, orang Tionghoa dari China Benteng.
Jadi, memang ada tradisi saling membantu yang kuat di kalangan etnis Tionghoa. Lihat misalnya menjelang Imlek, hampir semua kelenteng menggelar pembagian bingkisan untuk mereka yang kurang mampu. Beberapa waktu lalu misalnya di Kelenteng Besar Tay Kak Sie, Jalan Gang Lombok, Semarang pun melakukan hal tersebut.
Sebenarnya, pendermaan itu tak hanya menjelang Sincia, tapi juga pada hari-hari tertentu. Itu dibenarkan Tan Sioe Ing yang ikut beroleh bingkisan Imlek dari Tay Kak Sie berupa sembako dan uang Rp 125 ribu.
"Sebenere ndok klenteng gedhe (Tay Kak Sie) tiap bulan ada pembagian beras dan minyak goreng gratis buat orang tua. Tapi karena jauh dari rumah, saya ndak bisa ngambil. Dibanding ongkos becak pulang-pergi ke kelenteng, ndak cucuk."
Konsep pendermaan itu pun sebenarnya luas. Maksudnya, pemberian bantuan tak hanya ditujukan ke kelompok orang seetnis.
''Ya, tradisi memberi derma dalam masyarakat Tionghoa tak terbatas pada lingkup etnis sendiri. Mereka acap menyalurkan bantuan ketika ada bencana seperti tsunami, banjir, atau gempa bumi. Derma diberikan secara perorangan maupun institusi,'' ujar tokoh masyarakat Pecinan Semarang Aris Pramadi.
Namun, lanjut Aris, khusus kepada warga seetnis yang kekurangan, orang-orang Tionghoa kaya punya perhatian tersendiri. Menjelang Sincia misalnya, mereka memberi derma, lebih khusus kepada para lansia.
''Itu agar mereka yang kesusahan bisa merayakan tahun baru China dengan hati gembira.''
Lebih jauh, Aris mengungkapkan filosofi kue kerajang yang menjadi penganan khas Sincia. Rasa kue yang manis itu melambangkan manisnya mulut, hati, dan pikiran. Bahan baku ketan merupakan metafora rekatnya persaudaraan. Bentuknya yang bundar perlambang kerukunan. Adapun bungkus daun pisang merupakan simbol panjang umur dan keselamatan.
''Jadi, perayaan Sincia pada hakikatnya merayakan kebersamaan, persaudaraan, dan pengharapan.''
Soal kerukunan itu, menurut Harjanto Halim MSc, memang wajar mengingat pada awalnya orang-orang Tionghoa adalah perantau. Jadi, mereka merasa senasib dan saling bergantung satu sama lain.
''Tak cuma orang Tionghoa, orang Jawa misalnya yang bertransmigrasi. Di rantau, pasti mereka lebih rukun,'' tandasnya.
Hanya saja, Halim melihat ada perubahan pola kerukunan orang Tionghoa antara zaman Orde Baru dan sekarang. Waktu tekanan pemerintah Orba terhadap orang Tionghaa cukup kuat pada masa Orba, kerukunan mereka sangat dahsyat. ''Mereka merasa perlu bersatu untuk mengatasi tekanan-tekanan dari pemerintah. Contohnya, dulu merayakan Imlek saja dilarang. Setelah memasuki era reformasi, dan tak ada lagi tekanan dari pemerintah, saya melihat kerukunan itu kian luntur, terkalahkan oleh sifat-sifat individualisme. Banyak yang tidak rukun karena berbagai kepentingan pribadi.'' (*)


Kontributor bahan: Rukardi, Sarby SB Wietha (Semarang),
Saktia Andri Susilo, Wisnu Wijanarko (Jakarta), Mulyanto Ari Wibowo (Rembang)
Suara Merdeka, 25 Januari 2009

0 komentar: