Irama Perih dari Piano Marcel

on 13 Oktober, 2008

RUANG Auditorium RRI Semarang yang beku oleh udara sistem pendingin, Kamis (4/12/2003) malam itu mulai pukul 20.00 WIB seolah memuai oleh derasan irama Latin dari piano Marcel Worms. Jari-jari lelaki Belanda kelahiran 1951 itu lincah memainkan irama Latin dari segala zaman. Lihat saja, dari lagu pengiring dansa Kuba 1899, seperti ''Adios a Cuba'' (Selamat Tinggal, Kuba) atau ''Illusiones perdidas'' (Ilusi yang Hilang), dan ''Tango'' (1940) karya komponis kondang Igor Stravinsky, hingga lagu terbaru ''Quasitango'' (2002) karya Dolf de Kinkelder.
Tapi, kerancakan itu hanya berlangsung sekitar 30 menit. Hanya 10 lagu Latin tercipta dari hentakan cepat pada tuts lelaki yang diundang manggung oleh Pusat Budaya Indonesia-Belanda ''Widya Mitra'' Semarang bekerja sama dengan Erasmus Huis Jakarta.
Ya, usai jeda 15 menit, irama yang lahir dari Piano Marcel benar-benar berubah. Ruangan yang beku, dengan kursi penuh di dua tempat (tempat utama dan balkon), semakin membeku dan tintrim ketika nada yang bergulir berubah menjadi irama blues yang perih. Sembilan lagu bernuansa blues, dua di antaranya lahir dari dua komponis Indonesia (Sinta Wullur yang kini menetap di Belanda, dan Sapto Raharjo), dimainkan Marcel dengan intensitas yang tinggi.
Satu hal yang menarik pada permainan lelaki itu, khususnya pada blues, adalah obsesinya memainkan jenis irama tersebut dari berbagai bangsa. Ucapannya yang ketika mengantar ke permainan blues, memberikan bukti itu. Dia sangat ingin memainkan 145 lagu dari 35 negara, yang sengaja khusus diciptakan para komponis untuk dimainkannya. Ambil contoh ''Marcebars'' karya Anat Fort dari Israel, ''Nganda Blues'' ciptaan Justino Chemane dari Mozambique, atau ''Van Gogh Blue Ear'' garapan Roberto Valera dari Kuba.
''Tapi, tak mungkin saya memainkan semua lagu itu malam ini. Maka hanya sembilan lagu saja. Yang pasti, semua lagu yang saya mainkan adalah hasil persepsi semua komponis dalam memandang irama blues,'' kata Marcel Worms dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh seorang panitia.
Kalau dilihat tahun penciptaannya, sembilan lagu blues yang ditampilkan Marcel malam itu merupakan lagu-lagu baru antara 1999 sampai 2003. ''Bali in Blue'' karya Sinta Wulur, merupakan lagu yang tercipta pada 1999. Sementara beberapa lagu -termasuk ''Malioboro Blues'' (2003) ciptaan Sapto Raharjo-, adalah lagu yang kali pertama (premiere) dimainkan di Auditorium RRI Semarang.
Paling menarik adalah ketika Marcel memainkan ''Bali in Blue'' dan ''Malioboro Blues''. Dia menyertai permainan pianonya dengan menghadirkan pukulan perkusi dari kendang dan tifa kecil. Bahkan untuk lagu yang berisikan mengenai nama jalan paling terkenal di Yogyakarta (''Malioboro Blues''), Marcel menyetem pianonya hingga melahirkan bebunyian agak aneh yang menyerupai bunyi perkusi.

Beralih ke Blues

Sebenarnya, usai menyelesaikan studi musikalnya pada Sweelinck Conservatorium di Amsterdam, Marcel Worms memilih musik kamar sebagai ajang kreasinya. Beberapa kreasi dia ciptakan bersama Hans Broekman dan maestro piano awal abad ke-20 bernama Alexander Hrisanide. Berbagai resital piano yang menjadi ajang kreasi musik kamarnya, telah ia gelar -misalnya di Schonberg (1990).
Lalu mulai 1996, pianis itu terpikat oleh irama blues. Beberapa konser -baik solo maupun bersama komponis lain- digelarnya untuk mengusung blues. Beberapa bisa disebutkan, misalnya konser blues pada ''Mompou and the Blues'' di Barcelona pada 2003; dan tur kelilingnya di Kuba, September pada tahun yang sama.
Memang tak mudah menikmati jazz, lebih khusus lagi blues yang lahir dari tangan Marcel Worms. Ya, memang butuh konsentrasi yang tinggi untuk menikmatinya. Apalagi, sebagian besar lagu yang tersaji begitu asing. Sebagian besar penonton malam itu adalah anak-anak muda, yang diakui atau tidak, telah lebih dulu akrab dengan musik populer yang memiliki karakter sangat jauh berbeda dengan karakter musikal sajian Marcel. Bisakah mereka menikmatinya?
''Saya datang untuk mendengarkan musik, bukan untuk memahaminya. Boleh saja saya tidak paham, tapi saya bisa menikmatinya. Juga ketika dia (Marcel-Red) memainkan blues, saya bisa merasakan kesedihan dari irama yang tercipta,'' ujar seorang gadis yang menonton dari balkon.
Ya, meskipun begitu, barangkali karena keasingan iramanya, tepuk-tangan yang menyertai usainya sebuah lagu baru tercipta ketika Marcel berdiri dan membungkuk ke arah penonton. Tapi, kebertahanan mereka menyaksikan konser piano solo dari Marcel Worms hingga purna pada pukul 21.45 itu, tetap memberi bukti bahwa anak-anak muda tetap butuh jenis-jenis musik yang berbeda dari yang diakrabinya selama ini. (*)

Teks: Saroni Asikin
Suara Merdeka, 6 Desember 2003

0 komentar: