Sebermula adalah Wacana Gado-gado

on 13 Oktober, 2008

SAYA tercenung di depan lukisan penuh warna jingga itu. Pada bidang sebelah kanan, goresan cat kuning disapu dengan kasar membentuk kontur wajah dan badan. Lukisan dadaismekah itu, atau hanya mirip coretan kasar krayon di buku gambar anak saya Elok Bunga yang baru kelas 1 SD?
Sengaja saya tak melihat judul di bawah lukisan itu. Saya sering merasa terbingkai dalam mengapresiasi sebuah lukisan bila sudah membaca judulnya. Sering kali pula judul-judul yang acap penuh simbol itu membingungkan. Sebagai penikmat, saya butuh kebebasan membaca sebuah lukisan. Saya butuh mengumpulkan semua represi yang terendam di bawah sadar, tradisi-tradisi yang sempat tercerap untuk menikmati sebuah lukisan.Ah sori, sebuah awalan tulisan yang bertele-tele, bukan?
Kembali ke lukisan itu, saya menemukan beberapa penanda berupa kata atau ungkapan dalam bahasa Italia: Non gardare dan sei mio, juga nama Nanettino dan Pompinara. Lalu judul mencolok itu sungguh mengejutkan: ‘’Ipocrita Cinderella’’. Kemunafikan Cinderella? Saya mencari sosok khayali yang punya sepatu kaca itu. Apakah sapuan kasar warna kuning itu Cinderella ataukah sebuah kaus kaki dan goresan yang mencitrakan sebuah sepatu itu menjadi semiotika ‘’seorang’’ Cinderella?
Ah, lupakan itu. Sebab, mendadak saya teringat ‘’Ruang:Tanda/Space:Sign’’ yang jadi tajuk Pameran Pra Bali Biennale 2005 Semarang (19 Agustus-10 September 2005) di Rumah Seni Yaitu dengan mengusung ‘’discourse’’ atau diskursus atau wacana dan masih ditambahi sub-tematik tradisi para perupanya. Ya, apakah ke-Italia-an itu tradisi Deny Pribadi, pelukis Ipocrita Cinderella? Saya tahu, kisah Cinderella telah menjadi bagian tradisi dunia, tradisi kanak-kanak di lima benua. Tapi judul, dan beberapa penanda di lukisan itu mau tak mau membuat saya menyimpulkan, Deny punya tradizione italiana. Maka sebelum beralih ke lukisan lain, saya mereka-reka (mungkin) seperti itulah tradisi sang pelukis yang dibuncahkan di kanvasnya, juga pada lukisan lainnya yang bertajuk ‘’Brutto Presidente’’ (Presiden Jelek).
Lalu saya melihat tradisi ke-Bali-an pada ‘’Hegemoney’’ karya Auly Kastari atau ‘’The Spirit of Barong’’ Agus Sudarto. Saya melihat ke-Jawa-an pada ‘’Sirkus Semar Kuning’’ Bibit Jrabang, atau ‘’Dasamukamu’’ G Haryanto.
Sampai di situ, seolah-olah begitu mudahnya mengenali tradisi-tradisi para pelukis yang telah disebutkan itu. Triyanto Triwikromo dan Tubagus P Svarajati yang menjadi kurator menulis, ‘’Ruang:Tanda adalah sekumpulan simbolicum litere’’. Ruang:Tanda itu simbol-simbol yang diterakan. Dan pada lukisan-lukisan yang telah disebut itu, saya melihat tera simbolnya begitu ‘’plakat’’, begitu kasatmata. Ke-Italia-an Deny tertera lebih oleh tulisan pada lukisan dan judul. Ke-Bali-an Auly sangat jelas terlihat pada sosok kanak-kanak berdestar, dan Agus Sudarto lewat barong. Ke-Jawa-an Jrabang dan G Haryanto pada semiotika pewayangan. Meskipun khusus untuk Jrabang perlu diberi tambahan simbol-simbol lain yang lebih multikultural: ada Superman, badut pelawak, malaikat versi Alkitab. Meskipun begitu, lukisan itu tetap memperjelas apa yang ditulis Triyanto dan Tubagus, ‘’Ruang:Tanda adalah ruang dialog kebudayaan, dialog di antara berbagai-bagai budaya (dengan ‘b’ kecil) dan tradisi perupa Semarang.
***
TAPI bagaimana membaca tradisi pada lukisan-lukisan pelukis lainya? Beberapa lukisan di atas ‘’seolah-olah’’ mudah dibaca tanda-tandanya karena memang simbol-simbolnya terterakan jelas-terang. Bagaimana misalnya membaca lukisan ‘’Persaksian (in waiting…)'' karya Ibnu Thalhah. Sebermula mengamati lukisan bermedium campuran di atas kertas itu saya membayangkan Bukit Golgota tempat Yesus, Barnabas, dan banyak penjahat lainnya disalibkan. Tapi salib itu berdiri di tengah sebuah kapal besar dan lebih mirip tiang pancang layar, sementara sang tersalib memiliki sayap kuning, sosok yang umumnya dikenal sebagai malaikat. Ada semacam tradisi biblikal di situ seperti diterakan misalnya oleh busana orang-orang yang terlibat dalam ‘’persaksian’’ penyaliban itu.
Kesulitan serupa dijumpai saat pembacaan lukisan di kaca karya Imam Bucah yang tertajuk ‘’Mencari Tuhan dengan Doa’’. Simbol-simbol keagamaan yang diterakan begitu tumpang tindih: ada makhluk bersayap, gereja, swastika, bulan bintang, mummi, dajjal, lucifer, sebutir apel (yang dimakan Adam dan Hawa?).
Bagaimana pula membaca ‘’Epitaph’’ Putut Wahyu Widodo? Tak ada ‘’tulisan di batu nisan’’ selain sosok bertubuh hitam ‘’tepekur’’ bersandar pada semacam kursi. Atau, ‘’Trap Counter’’ Bayu Tambeng yang lebih mirip sebuah sketsa belum jadi. Atau, uang kartal 50 ribu rupiah bergambar Soeharto yang persis dengan aslinya dan diberi judul ‘’Reformasi/Refor-mati?’’ karya Ham Ngien Beng. Pada lukisan itu, tanda apakah yang menerakan sebuah kondisi kegagalan reformasi selain ingatan kita terhadap uang kartal tersebut ketika masih diberlakukan? Atau semangat seekor kupu-kupu yang bagaimanakah yang bisa dibaca dari ‘’The Spirit of the Butterfly’’.
Pada lukisan-lukisan itu saya melihat betapa luasnya sebuah ruang untuk mewahanai gagasan-gagasan dari kepala seorang pelukis. Gagasan-gagasan tersebut acap kali bertumpukan, berkelindan, sanding-menyanding, bersirengkuh, dalam sebuah ruang, yang dalam hal ini disebut kanvas atau selembar kertas atau kaca. Dan tentu saja, tidak mudah membaca tanda-tanda yang diterakannya. Sebab, ketika pelukis membingkai semua gagasan dari batok kepalanya, tradisi-tradisi di dalam dirinya yang sudah pasti bersifat personal bersliweran sebelum tumpah di bidang lukisan. Sebagai penikmat, kita lalu hanya bisa meraba-raba dengan kata ‘’mungkin’’ yang tebal.
Untuk hal seperti itu, saya sepakat dengan Triyanto dan Tubagus, bahwa ‘’dialog atau permainan wacana itu didasarkan pada realitas, bahwa latar budaya para perupa itu berlainan dan mereka, bisa jadi, bermukim di wilayah yang multikultur pula. Pluralisme dan multikultualisme adalah pegangan sekaligus lahan kreasi mereka. Dari sana diharapkan muncul visualitas yang sejalan dengan gagasan atau konsep karya-karya mereka.’’ Atau bahwa ‘’Wacana tradisi bisa disikapi pula sebagai fenomen-fenomen ingatan dalam historisitas seseorang’’.
Dengan gagasan pameran serupa itu, gagasan yang menurut saya begitu luas, gagasan yang mewadahi ‘’kisah seseorang’’ tanpa batasan, menikmati karya 16 perupa di Rumah Seni Yaitu ibarat menikmati sepincuk gado-gado. Tiap sayuran, juga kerupuk, sambal, dan lontong memiliki sejarah yang panjang. Ada cerita mengenai perasaan pikiran, curahan keringat, juga semangat menggebu untuk menghasilkan menu yang mirasa.
Sebagai mukadimah sebuah galeri, pameran dengan gagasan serupa itu patut didukung. Bukankah kadangkala kita telah cukup puas hanya bersarapan pagi dengan gado-gado? Apalagi semangat rumah seni adalah memetakan kesenirupaan Semarang yang konon sekian lama tak pernah transparan dan selalu luput dari dukungan institusional akademis. Sebuah semangat menggebu untuk memasukkan praktik kesenirupaan periferal yang tak terjamah dan selalu berkelindan bingung di luar episentrum yang berbasis kekuatan material. Selamat berpameran.(*)

Saroni Asikin
Suara Merdeka, Bianglala-21 Agustus 2005

0 komentar: