Mengejar Gelar ''Koreografer''

on 13 Oktober, 2008


SEBUAH teks, didialogkan di tengah-tengah koreografi Kecicir garapan Anggono Kusumo Wibowo, salah seorang penampil dalam acara ''Dua Malam Bersama Enam Koreografer Muda'' di Teater Arena TBS, 18-19 Februari 2002. Teks tersebut, mencoba meneguhkan eksistensi para koreografer.
Secara umum, acara yang digelar Studio Taksu Solo bekerja sama dengan Komunitas Taman Budaya Surakarta (TBS) tersebut diminati penonton. Itu bisa dilihat pada penuhnya tempat penonton selama dua malam, walaupun rintik hujan terus turun di luar tempat pertunjukan.
Menyaksikan keenam koreografer yang tampil pada dua malam itu, teks tersebut bisa dijadikan acuan bahwa keenam anak muda itu terkesan ingin meneguhkan eksistensi mereka sebagai koreografer, walau dengan embel-embel ''koreografer muda''.
Kalau ditarik lebih panjang lagi, sepertinya mereka ''ingin berontak'' terhadap mereka yang selama ini disebut ''koreografer tua''. Artinya, mereka berhak juga untuk menunjukkan diri, menunjukkan karya koreografinya.
Itu sejalan dengan pendapat Jarot Budi Darsono, pemilik Studio Taksu yang menggelar kegiatan tersebut sebagai ajang tampilnya para koreografer muda. ''Mereka berhak tampil dan menyatakan diri sebagai koreografer, serta berhak menunjukkan karya-karyanya,'' kata Jarot.
Memang, dalam dunia kesenian, sering ada dikotomi seniman muda dan seniman tua. Perbincangan soal itu sering dibahas dan didiskusikan. Sayangnya, tidak pernah ada hasil yang dengan tebal menggarisbawahi perbedaan keduanya.
Mari kita lihat keenam penampil, para koreografer muda itu. Dari segi usia, mereka rata-rata masih muda, sekitar 23-25 tahun. Hanya seorang yang berusia mendekati angka tiga. Tapi, hampir semuanya telah ''bergulat'' lama dalam dunia tari, baik sebagai penari maupun penata tari (koreografer-Red).
Produktivitas mereka juga mencengangkan. Sebut misalnya Putu Deasy Ariastuti, yang menggarap Nyak. Dalam dua tahun saja (2000-2001) dia telah menggarap delapan karya koreografi. Beberapa di antara mereka, bahkan pernah terlibat dalam suatu karya tari yang digelar di luar negeri.
Dari catatan itu saja, masih belum layakkah mereka disebut koreografer, sehingga perlu ada ajang untuk meneguhkannya?

Beragam Tema

Dari segi tematik, keenam koreografer muda itu mencoba tampil dengan tema yang beragam. Kali karya Fitri Setyaningsih berbicara mengenai kontradiksi alam kejiwaan manusia yang dipenuhi nafsu baik dan nafsu buruk.
Koreografi yang berasal dari teks cerita mengenai Betari Durga, yang disebut juga Betari Kali, itu diketengahkan oleh dua penari. Satu orang memperagakan Dewi Uma (Durga saat masih jelita-Red), dan lainnya sebagai Betari Durga.
Kecicir yang tampil setelah Kali berbicara mengenai sebuah pemberontakan. Anggono KW, sang koreografer, menyuguhkannya dengan memetik teks dari peradegan Perang Kembang dari pewayangan, dengan sosok Cakil yang selalu kalah. Dia seolah-olah ingin mempertanyakan, mengapa Cakil selalu kalah dalam perang.
Ruang, garapan Kandhi Wirastuti, menyuguhkan kesesakan dan kesempitan ruang tempat manusia hidup. Ruang itu pada koreografi tersebut adalah presentasi kehidupan orang-orang yang terpinggirkan di jalanan.
Ada juga koreografi yang bertema ancaman dari sesuatu yang buruk pada Sanghara karya Ni Kadek YP. Dengan karyanya itu, Kadek ingin berbicara bahwa seyogianya kita selalu waspada terhadap hal-hal buruk yang selalu mengancam diri kita.
Hampir sama dengan tema pada Sanghara, muncul pada garapan Bejo Tri Kumara yang menyuguhkan Senandung. Koreografi yang menampilkan permainan tongkat kayu itu pun berbicara mengenai arti penting kehati-hatian.
Sajian yang paling berbeda dari semua yang tampil adalah Nyak. Di samping sebagai satu-satunya penampil dari luar Solo, Putu Deasy Ariastuti dari Semarang menyuguhkan kesederhanaan kehidupan ibu-ibu (Nyak dalam bahasa Betawi-Red). Banyolan yang ada pada presentasi itu juga menjadi tanda pembeda dari penampil lainnya yang terkesan serius.

Koreografer

Bincang-bincang yang digelar pada malam kedua, seusai semua koreografi disajikan, secara umum mempertanyakan intensitas dan konsistensi para penggarap. Komponis I Wayan Sadra yang diundang panitia untuk memberikan komentar, bahkan menilai para penampil terkesan memburu gelar ''koreografer''.
''Kalau saya melihat biodata Anda semua, saya sungguh kagum. Bayangkan, dalam setahun Anda bisa menghasilkan sekian karya,'' katanya kepada enam penampil.
Kalau dihubungkan dengan tujuan acara selama dua malam itu bahwa mereka berhak tampil, berhak disebut juga sebagai koreografer (walaupun masih ''muda''), maka pertanyaan Sadra adalah kritik agar mereka tidak hanya berhenti sebagai koreografer dan berhenti sebagai penari. Sebab, kalau sudah seperti itu, dunia tari akan terancam ketidakseimbangan. (*)

Teks & Foto: Saroni Asikin
Suara Merdeka, 25 Februari 2002

1 komentar:

Irawan Karyo Utomo mengatakan...

lama ga liat artikel ginian. saya pendukung garapan nyak