Pergumulan Gender dari Kursi Goyang

on 13 Oktober, 2008

BISA jadi, penonton laki-laki yang datang ke Sanggar Gidag Gidig Solo, Senin (24/6/2002) malam itu telah bersiap diri menjadi ajang kutukan kaum perempuan. Sebab, judul repertoar yang hendak disajikan kelompok Rumah Imaji cukup memberi alasan itu: Mari Mengutuk Laki-laki. Repertoar dalam empat sekuel itu dinukil dari kumpulan cerpen bertajuk sama karya Ludriatin.
Namun, begitu repertoar dimainkan setelah dua pembacaan cerpen oleh Sosiawan Leak dan Ruwi, penonton laki-laki bolehlah menarik napas lega. Tak ada kutukan yang dengan bengis ditujukan pada laki-laki, juga tak ada hujatan keji untuk para lelaki. Yang ada hanyalah kalimat pergolakan deras dari seorang perempuan yang sedang meneguhkan eksistensinya di hadapan lelaki. Jadi, kalau diringkas, yang mengemuka adalah wacana pergumulan gender antara kaum perempuan dan laki-laki.
Paling tidak, kenyataan itulah yang dengan lancar dan lugas keluar dari tokoh Kesi (dimainkan dengan cukup baik oleh Monique) dari atas kursi goyang di dalam satu dari empat sekuel repertoar yang berjudul Perempuan dalam Lukisan tersebut. Sekuel itu pulalah yang merepresentasikan pergumulan gender.
Sebab, tiga sekuel yang lain, yaitu Dongeng Ibu Tokek kepada Anak-anaknya, Jesus Christ in Blues, dan Musim Bunga memberikan cerita yang tidak spesifik berbicara gender. Bahkan, ketiga sekuel itu lebih banyak mempersoalkan soal chaos sosial seputar penjarahan dan kerusuhan massal.
Nah, mari dengar kisah yang deras diluncurkan Monique dari atas kursi goyang! Tokoh aku (Kesi) bersuamikan seorang pelukis sukses. Dia adalah istri sekaligus manajer sang suami. Demi kesuksesan yang tak henti bagi sang suami, dia membangun sebuah restoran yang selanjutnya menjadi tempat yang banyak dikunjungi orang.
Konflik antara tokoh aku dan suami-sebuah konflik incognito-terjadi saat dia mendapati figur penari perempuan dalam lukisan suaminya. Dia mulai dihantui kecemasan begitu mengetahui suaminya "asyik sendiri" dengan lukisan itu. Lalu dia pun bertanya-tanya, "Bagaimana mungkin, suamiku mencintai perempuan dalam imajinasinya?"
Ternyata, perempuan imajiner sang suami itu pada suatu hari muncul di restoran. Kecemasan sekaligus kemarahan Kesi memuncak. Namun, dia tak berdaya. "Aku bisa saja mendekatinya sembari membawa pisau dan menyayat-nyayat wajah wanita itu. Atau, aku bisa membayar orang untuk membunuhnya. Namun, untuk apa? Ini hanya permainan, hanya sebuah permainan. Nyatanya, aku terperangkap dalam sebuah permainan yang aku sendiri tak mampu terus atau berhenti," kilahnya.

Interpretasi Ganda

Berbicara tajuk pertunjukan, kita memang dihadapkan pada sebuah interpretasi ganda. Mari Mengutuk Laki-laki bisa dimaknai sebagai ajakan untuk menghujat laki-laki. Namun, ungkapan itu juga bermakna tokoh Mari yang geram terhadap perilaku laki-laki, lalu mengutuki kaum Adam.
Ternyata, interpretasi kedualah yang menemukan verifikasi dalam pementasan. Itu tergambar pada cerpen Mari Mengutuk Laki-laki karya Ludriatin yang dibacakan Ruwi. Ada tokoh Mari yang memang mengutuki kaum lelaki.
Sengaja atau tidak, masalah keserbagandaan seolah-olah mengemuka dalam seluruh pementasan. Bukankah tokoh Kesi yang dalam kesimpangsiuran antara kemarahan pada sang suami dan ketidakberdayaan sebagai istri adalah juga sikap ganda?
Keserbagandaan pun bisa ditafsirkan pada kursi goyang yang menjadi pusat permainan. Dia adalah simbol kenyamanan tokoh Kesi yang terus bergoyang-goyang di atasnya dalam sebuah realitas. Namun, dia juga simbol baginya untuk keluar dari realitas dalam lamunannya. Di kursi goyang itulah, bayang-bayang dan kenyataan "dunia Kesi" dibangun. Peristiwa tersebut diceritakan pada penonton secara repertoral.
Alhasil, sebuah pergumulan gender deras meluncur dari mulut perempuan cantik bernama Kesi di atas kursi goyang yang terus bergoyang sepanjang sekitar satu jam repertoar dimainkan. Sebuah pertunjukan penuh keserbagandaan. Ganda jugakah cara pandang kita terhadap masalah gender? (*)

Teks & Foto : Saroni Asikin
Suara Merdeka, 26 Juni 2002

0 komentar: