Kisah Absurditas Tanpa Kerenyit Kening

on 13 Oktober, 2008







SEORANG gadis berkaus dan rok pendek dan topi piknik muncul dan langsung bernyanyi. Seorang lelaki hanya bercawat di dalam etalase dorong dihela ke tengah panggung dan ia langsung menyanyi. Seorang gadis lainnya berbalut gaun malam ungu masuk dan segera bernyanyi. Jauh di belakang mereka, seorang gadis lainnya, bak putri keraton bersimpuh dan menyanyi. Lirih sekali nyanyian mereka. Seperti sebuah serenada pedih pada malam-malam tak berbulan.


Robot kura-kura dengan kepala patung manusia mulai bergerak memutari miniatur rel kereta api: gerak yang memulakan pecahnya suasana yang beku. Sebab, setelah itu, dari arah kanan melintas orang-orang yang merentang sebelah tangan mirip burung yang patah sebelah sayapnya. Mirip migrasi para burung menuju ke semesta entah. Seseorang naik ke atas robot kura-kura, memintas dan lenyap. Di antara orang-orang yang melintas itu, beberapa berhenti dan mulai meluncurkan kalimat-kalimat puitis yang rawan. Lebih tepatnya, cebisan kutukan yang menggigilkan.




''Sebut aku haram jadah Siwa. Aku adalah celaka dan mengenai seluruh celaka, celakalah Uma, celakalah Siwa, celakalah Wisnu, celakalah Durga dan celakalah dirimu karena mengenalku.''


Teriakan lain menimpanya seperti sebuah simbal yang dipukul semerta-merta: ''Kalanjana! Kalantaka!'' Tapi teriakan-teriakan itu serupa angin lalu bagi sepasang lelaki-perempuan di situ. Mereka menari-nari lembut seperti dua merpati yang saling memikat sebelum bercintaan. Sementara, seorang manusia bersayap dengan gerak feminim mirip malaikat dalam cerita Alkitab sibuk memutar dan seorang melintas di atas sebuah egrang mirip robot tak berhati.



Aih, sepanjang fragmen awal ''Waktu Batu A#3: Deus ex Machina dan Perasaan-perasaanku Padamu'' garapan Teater Garasi itu dimainkan, masih belum ada ikatan cerita. Hanya potongan-potongan peristiwa. Meski begitu, sedari fragmen awal itu, ratusan penonton di Gedung Wanita Jepara, Kamis (23/12/2004) malam itu, segera larut dalam pesona yang ditebar Teater Garasi sudah mulai dibangun.


***




DUDUK di sebuah kursi, di antara ratusan penonton, sebagian besar anak-anak SMA yang selalu gaduh sebelum pertunjukan, saya menonton pertunjukan itu dengan kepala penuh wacana. Wacana penuh puja-puji yang sekian lama dijejalkan media massa mengenai kelompok dari Yogyakarta itu. Mitos-mitos, makhluk-makhluk mitologis, cerita sejarah Majapahit, Jawa, kedatangan orang Portugis, seperti yang beberapa waktu menyesak ke kepala saya mengenai kelompok teater yang gandrung pada absurdisme, bersimpongan ketika mata saya memelototi panggung.


Menonton pertunjukan dengan kepala penuh cerita tentu saja menjengkelkan. Mestinya saya kosongkan kepala dan menikmati apa saja yang berlangsung di panggung. Apalagi, garapan sutradara Yudi Ahmad Tajudin memang mengasyikkan mata yang melihat, penuh impresi, atau bahkan hanya tumpukan impresi yang dipepatkan dalam ''kanvas panggung'' besar.Peristiwa-peristiwa teater yang dibangun dalam ''Waktu Batu #3'', juga pada ''Waktu Batu #1:Kisah-kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu'', dan ''Waktu Batu #2: Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa yang Terbelah'' hampir selalu berupa potongan peristiwa yang bertumpang-tindih. Mitologi Watugunung sebagai titik berangkat eksplorasi menyeret sekian cerita lain tentang Murwakala, Sudamala, kejatuhan Majapahit, hingga pada persoalan kekinian seperti konflik nusantara, kegamangan generasi sekarang menghadapi zaman, dan banyak lagi.


Coba bayangkan, bagaimana tidak bertumpang tindihnya cerita ketika kita disuguhi kisah incest Watugunung-Shinta, pemerkosaan Siwa pada Uma yang berbuah Kala si pemakan manusia, tetapi berserantaan dengan itu kita disuguhi pula dunia gemerlap pub, fashion, generasi gaul metropolis hingga sosok-sosok dalam impian futuristis? Konsepsi megenai waktu atau kala, atau apapun kalian menyebutnya diperas Teater Garasi di satu panggung dan kita terduduk menontonnya untuk disadarkan bahwa tak ada batasan pada waktu. Dulu, kini, dan esok hanyalah peristiwa yang bertumpang-tindih. Ikatan-ikatannya bisa sangat blur di dalam diri kita.Dan di situlah kita terjebak dalam absurditas. Dan filsafat Absurdisme selalu berkenaan dengan keganjilan (incongruity) manusia dalam lingkungan eksistensial mereka. Dan itu bisa bermakna sebagai sebuah petaka.


Maka dengarlah ucapan Kala yang dikutuk Siwa menjadi pemangsa manusia seperti dalam lakon ''waktu Batu'' itu: ''Aku diciptakan tidak sengaja. Aku adalah kecelakaan dan celakah dirimu karena mengenalku. Aku adalah dentuman besar dilubang kosmos dan setelahnya.''Ahoi! Memang berat teater absurd seperti yang disajikan Teater Garasi seberat menyimak teks-teks yang dimainkan di panggung. Ia memang kelompok yang disebut sebagai grup teater absurd sejak mereka terpikat pada tokoh dramawan absurd Samuel Beckett lewat En Attendant Godot dan Endgame (La fin). Dalam filsafat absurdisme, manusia hanyalah sosok mengenaskan, lucu tapi getir, dan hubungan di antara mereka hanyalah miskomunikasi. Pada tataran itu, peristiwa bertumpang-tindih, monolog, impresi-impresi yang dibangun Teater Garasi seola-olah menemu pembenaran konsepsi filosifisnya.Bagi saya, itu sisi paling menarik dalam menikmati sajian ''Waktu Batu''.


Bagaimana lakon yang terberati beban filosofis, dengan pendekatan teater absurd dikemas dengan hilir-mudik impresi yang memuaskan mata. Sebagai penonton, saya seperti disuguhi potongan pita seluloid dari banyak film yang direkat lagi dan diputar pada layar lebar. Saya sepakat pada komentar cerpenis dan pemerhati seni pertunjukan Triyanto Triwikromo, bahwa ia menonton ''Waktu Batu'' seperti menyimak pameran seni rupa yang diberi teks, seperti mozaika yang indah, nukilan klip musik, atau bahkan seperti menyaksikan para model bergaya di catwalk memamerkan karya perancang busana.


Kalau tidak semacam itu, bagaimana anak-anak SMA di Jepara yang menonton, yang kata Panitia adalah anak-anak yang baru kesengsem teater bisa menonton sepenuh lakon 1,5 jam, terpaku di tempat duduk mereka di balkon? Dan begitu lakon selesai, mereka riuh bertempik-sorak. Ketika itu, saya membayangkan sebuah pertunjukan teater yang menggembirakan seperti kegembiraan mereka menyoraki adegan pria-wanita berakrobat mendedah percintaan di panggung, atau menyoraki manekin yang dipasang di para-para panggung.


Maka, wajar sajian Teater Garasi itu pernah disebut ''gue banget'' atau ''kita banget''. Penonton dan pemain seperti memiliki dirinya sendiri di situ. Paling tidak impresi-impresi peristiwa yang dipanggungkan adalah impresi-impresi personal: suasana stasiun, salon kecantikan, ruang tamu yang soliter, seperti ditunjukkan pada beberapa adegan ''Waktu Batu #3''.


***


DAN saya duduk bersama mereka.Tapi tak seperti mereka, saya hanya punya sedikit kegembiraan oleh impresi-impresi yang tersaji dipanggung. Sial sekali memang. Kepala saya tak bisa nihil. Seperti kecamuk yang menuntut sebuah permainan teaterikal yang sempurna. Saya menginginkan aktor-aktor yang ekspresif, yang mengucap dialog dengan intensitas artikulasi. Saya butuh suasana dramatik, bukan potongan peristiwa seimpresif apapun. Sebab, Yudi sang sutradara, juga Teater garasi dibentuk tahun 1993 dengan visi bahwa peristiwa teater mesti dramatik yang membetot emosi, meneror, memberi pencerahan, menerbitkan sensasi, membangkitkan kesadaran sosial-politik, dan banyak lagi.


Tapi seusai menontonnya, saya tahu bahwa kebutuhan akan suasana dramatik itu ternyata sudah saya peroleh. Kecamuk di benak, ketika dan setelah menonton ''Waktu Batu A#3: Deus ex Machina dan Perasaan-perasaanku Padamu'' yang lahir dari potongan peristiwa teater itu adalah bukti bahwa emosi saya terbetot, terteror, tercerahkan, etcetera.


Apalagi berhadapan dengan tema ''waktu'', lalu saya jadi teringat Eisntein dan Alan Lightman. Nama terakhir itu pernah begitu jenius menafsir teori kaku Relativitas Einstein menjadi sebuah novel yang melodius, penuh tonalitas diksi, dan kaya deskripsi puitis. Judulnya Einstein's Dreams atau Mimpi-mimpi Einstein.


Lihat satu bab bertajuk ''15 Mei 1905''. Lightman menulis dengan provokatif: ''Bayangkan dunia tanpa waktu. Hanya bayang-bayang...''Ya, hanya bayang-bayang. Hanya fragmen-fragmen lepas. Hanya impresi-impresi tanpa makna: ada seorang lelaki yang duduk termenung memegangi potret seorang gadis; ada seekor kucing mengincar kumbang di jendela; ada butir air di jendela; ada tali tergulung.


Ah, impresi tanpa makna. Butuh seorang penyair untuk memaknakannya. Tapi bisa apa dia tanpa adanya waktu. Dan dalam telikungan waktu itu, impresi-impresi haruslah dimaknakan. Dan itulah yang dilakukan Teater Garasi: berusaha memaknakan impresi yang dibangunnya sendiri di panggung teater. Ia membuatnya jadi puisi indah lewat tim penulis lakonnya Andri Nur Latif, Gunawan Maryanto, dan Ugoran Prasad. Puisi tentang waktu yang mereka garap dari proses sekian tahun.Dan kita yang menonton eksplorasi lakonnya hanya termehek-mehek di kursi ruang pertunjukan.


Ya, untuk sebuah konsepsi yang sefilosofis ''waktu'' dan sekaku Teori Relativitas, kita bisa menikmatinya dengan penuh gembira dan menggapai-gapai keindahannya. Alan Lightman dan Teater Garasi telah memberikannya. Khusus Teater Garasi, ia menawarkan kisah absurditas yang rumit tapi dan kita tak perlu mengernyitkan kening.(*)





Teks dan Foto : Saroni Asikin


Suara Merdeka, 26 Desember 2004

0 komentar: