Menikmati Improvisasi pada Malam yang Basah

on 13 Oktober, 2008

BUAT apa memainkan musik yang ada, kalau hanya sekadar menyusun nada berirama; betapapun indahnya? Bukankah musik itu geletar jiwa, dan bisa dimainkan dengan geletar jiwa itu? Pertanyaan tersebut, sepertinya telah menjadi jargon di kalangan pemusik jazz Indonesia.Maka, improvisasi ketika bermain musik menjadi ruh yang paling kuat bagi jazz. Boleh jadi -karena unsur itu pula- pemusik jazz sangat mungkin bisa berkolaborasi dengan siapa saja, termasuk dengan dalang wayang kulit berciri klasik sekalipun.
Nah, menyaksikan konser ''Djarum Super On Art Mahabharata Jazz & Wayang On The Bus'' yang dipersembahkan PT Djarum -juga pada tur ke-19 di halaman auditorium Undip Semarang, Minggu (21/12/2003) malam - adalah menyaksikan improvisasi yang saling bertemu di panggung. Dan itulah, yang dilakukan empat pemusik jazz (Luluk Purwanto dan The Helsdingen Trio) dan dalang Nanang Hape bersama tiga pemusik pentatonis lainnya.
Tak mudah mempertemukan atau menciptakan harmoni dari beragam kreasi dalam satu panggung plus improvisasi dari semua yang tampil. Delapan orang yang tampil di bus stage malam itu, adalah delapan penyaji dengan ciri spesifik berbeda. Dan dalam ranah jazz, tak ada dominasi: semua pemain merepresentasikan dirinya. Tapi itulah jazz, paduan dari yang berbeda.
Lalu bagaimana ''mengawinkan'' jazz dengan wayang? Ada kegamangan untuk yakin, bahwa keduanya bisa bertemu dan lebur. Tapi itu juga menciptakan kepenasaran. Serupa apakah ''pertemuan'' keduanya?
Dengar saja perkataan Luluk: ''Saya tak memaksa Nanang main wayang kayak ngejazz. Wayang itu sarat improvisasi, juga on the spot. Jadi sejiwa dengan jazz.'' Kesejiwaan? Itu pula yang mengikat perjumbuhan jazz dan wayang, yang oleh Luluk dan kawan-kawan diikat oleh cerita Mahabharata.
Dan Luluk Purwanto (biola), Rene van Helsdingen (piano), Essiet Okon Essiet (bas), Marcello Pelletteri (drum), Nanang Hape (dalang), I Ketut Budiyasa (perkusi Bali), Kiki Dunung (perkusi Jawa-Sunda), dan Soled Saryanto (rebab, slenthem, gong), telah membuktikannya di 19 dari 20 tempat tur di Jawa dan Bali.
Sajian jazz dan wayang mereka begitu unik serta kaya warna. Penonton tak semata disuguhi bunyi-bunyi instrumen, tapi ''drama'' yang tercipta ketika mereka beraksi. Keterlibatan psikologis pemain dan pemusik terekat. Dan itu -inti jazz- juga sempurna mengusung epik besar Mahabharata karya Wiyasa.Kepenasaran terhadap ''percumbuan'' jazz dan wayang, sudah terbukti selama tur konser, juga yang terjadi di Undip Minggu malam lalu. Dalam jumpa pers sebelum konser, Luluk menceritakan keterharuannya oleh kesetiaan penonton di Kudus yang rela kebasahan hujan. Situasi hampir serupa tertemukan juga pada penonton di Semarang.
Mari kita lihat. Hujan yang turun sejak sore hari, tinggal rintik-rintik kecil memasuki pukul 19.30 WIB, yang dijadwalkan sebagai permulaan pertunjukan. Halaman paving di depan panggung bus basah dan menyisakan beberapa genangan kecil. Penonton yang kebanyakan anak muda berdatangan, dengan atau tanpa payung. Gazebo dan tenda yang ada di tempat itu telah penuh orang, berteduh dari rintik hujan. Sebagian membentuk kelompok-kelompok yang berdiri tanpa perteduhan. Di depan mereka, di panggung hanya ada piano, cello bass, drum, dan tiang partitur. Dua layar putih di kanan-kirinya masih gelap.
Rintik hujan masih turun pada pukul 20.00 WIB, ketika semua areal depan panggung penuh penonton yang duduk, di paving basah atau beralaskan sendal atau jas hujan. Lalu Nanang Hape membuka sajian dengan suluk yang mengisahkan perjanjian Bhisma dengan Dewi Amba, satu dari 12 episode Mahabharata pilihan si dalang yang menjadi pembuka pertunjukan.Luluk dan The Helsdingen Trio telah ada di panggung. Beberapa saat setelah Nanang memainkan kayon, derasan musik bersahutan dari para pemusik jazz terdengar menyerupai deru angin yang keras. Dan penonton bertepuk tangan. Maka, pemaknaan kisah perseteruan Pandawa-Kurawa itu tersaji di panggung.
Perlu dicatat, ketika merespons permainan Nanang dan kru gamelannya, Luluk dan The Helsdingen Trio yang jadi rhytm cection dari biola perempuan kelahiran Yogyakarta itu bukanlah ilustrasi dari lakon wayang. ''Nanang memainkan Mahabharata. I Ketut, Soled, dan Kiki mengisinya dengan musik mereka, juga memainkan kisah itu. Kami berempat juga memainkannya dengan musik kami,'' kata Luluk.
Fakta itu menjelaskan, delapan penyaji tersebut memiliki dirinya sendiri ketika bermain.Maka, hampir tiga setengah jam pada malam yang basah itu kisah Mahabharata didedah lewat instrumen musik dan lewat mulut Nanang Hape. Bukan cerita wayang utuh, memang. Nanang hanya memainkan fragmen-fragmen yang -menurutnya- penting dalam epik Wiyasa itu. Serupa penggalan banyak lakon, seperti Kresna Duta, Kurawa Dadu, Bale Sigala-gala, Karna Gugur, Durna Gugur, dan diakhiri dengan Aswatama Landak.Dari pengapresian seperti itu, lahirlah harmoni dari delapan individu yang seolah-olah ''bermain'' sendiri-sendiri tersebut. Wajar saja, tak semua penonton bisa mengerti soal harmoni atau improvisasi dalam jazz dan wayang. (*)Saroni Asikin
Suara Merdeka, 23 Desember 2003




0 komentar: