Paling tidak demikianlah yang hendak diungkapkan Meimura dari Teater Ragil Surabaya melalui karya monolognya Satu Cinta. Pentas berdurasi setengah jam di Teater Arena TBS Solo, Jumat (22/3/2002) malam lalu itu hanya berbicara soal luka, kepahitan, kepedihan, dan traumatisme kanak-kanak yang terjebak dalam suasana kekerasan massal. Dalam monolog Meimura itu tergambar seolah-olah dunia sudah tidak berpengharapan sama sekali terutama anak-anak.''Konflik di belahan bumi mana saja, juga di Indonesia, selalu meninggalkan luka yang terus membekas. Dalam situasi seperti itu, jangan dilupakan anak-anaklah korban pertama dan terakhir yang menanggung akibat. Karena itu, mereka seharusnya diselamatkan dari traumatisme berkepanjangan.''
Meimura itu sosok aktor produktif. Lelaki kelahiran Surabaya, 1963 itu telah memiliki banyak pengalaman berkesenian. Dia memulai ketika masih kanak-kanak, khususnya ketika bergabung di perkumpulan wayang orang dan ludruk di kampungnya, Jalan Patemon II Surabaya.
Kedekatan karya-karyanya dengan dunia anak-anak, diakuinya karena dia menyaksikan langsung beberapa peristiwa kekerasan massal yang beberapa waktu lalu di Indonesia.''Satu Cinta adalah wujud kemarahan, teriakan saya tentang anak-anak yang tak lagi bisa ceria, anak-anak yang kehilangan harapan. Saya ngeri melihat anak-anak kehilangan dunianya.''
Mengapa Meimura memilih tragedi seperti itu sebagai tema monolognya? Mengapa pula dia memasukkan visualisasi berupa film soal kekerasan massa di Indonesia?
''Saya ingin teater jadi jendela untuk menengok ke peristiwa-peristiwa masa lalu yang hampir selalu dilupakan lantaran muncul peristiwa baru,'' ujar Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jawa Timur itu. Dia ingin mengingatkan, kalau bukan membuka luka lama, peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi di Indonesia.''Siapa yang ingin peristiwa seperti itu terulang? Tapi siapa pula yang mau mengingatnya sebagai bahan pelajaran?'' tanyanya getir saat ditemui seusai pementasan.
Satu Cinta-nya sejak dua tahun lalu telah dipentaskan secara keliling di berbagai kota di Indonesia. Kali pertama disodorkan ke publik pada kegiatan Indonesia Dance Forum di Palu. Pada naskah itu, Meimura hanya ingin mengajak penonton sekadar mengingat kembali peristiwa-peristiwa pahit, bukan untuk membangkitkan traumatisme.''Saya hanya ingin mengingatkan belaka. Lalu saya ingin mengajak kita sama-sama berdoa agar hal seperti itu tak terulang. Karena itu, estetika yang saya bangun dengan monolog tersebut adalah estetika mantra.''
Mantra yang jadi estetika pertunjukan monolognya diartikan sebagai perangkat doa, ''Semoga, semua peristiwa pahit yang membuat anak-anak kehilangan keceriaan, penuh traumatisme, tak lagi terjadi....''(*)
Saroni Asikin,
Suara Merdeka, 26 Maret 2002
0 komentar:
Posting Komentar