
Dalam keyakinan dramawan Francois Cervantes, tidak ada yang tidak mungkin. Setidaknya, itulah yang dia tulis dalam monolog Le Voyage de Penazar (Perjalanan Kartala) yang Rabu (21/8/2002) malam dipentaskan dalam kolaborasi dengan Slamet Gundono di Teater Arena TBS. Keyakinan itu pulalah yang memungkinkan kolaborasi terjadi. Begitu banyak perbedaan terpapar di panggung, terutama kultur dan bahasa.
Catherine Germain (pemeran Kartala) berbusana khas kaum borjuis Prancis muncul dari belakang panggung. Wajahnya tertutup topeng Penazar.
Slamet Gundono bersama 4 kru musik telah terlebih dulu di panggung menjadi semacam pengantar lakon.
Begitu masuk panggung, dia menari-nari dalam gerakan ritmis sambil mengucapkan potongan teks Prancis. Permainan gerak dan artikulasi vokal yang banal dan hidup begitu memikat. Gerakan tarinya mirip tarian topeng banyuwangen. Tapi itu disangkalnya.
"Saya tidak tahu jenis tari itu. Saya bergerak tanpa beban seperti yang biasa saya lakukan saat memerankan clown (badut) pada beberapa pertunjukan teater saya di Prancis. Topeng yang saya kenakan itulah yang membawa saya bergerak-gerak," kata Catherine.
Sebagian besar penonton memang boleh tidak mengerti makna ucapannya. Tapi ekspresi yang lahir dari bebunyian kata-kata asing, sembari sesekali diterjemahkan secara sangat bebas oleh Gundono dalam bahasa Jawa dialek Tegal, cukup membantu penonton.
Abdi Abadi
Le Voyage de Penazar bermula dari sebuah topeng yang ditemukan Francois Cervantes pada sebuah toko antik di negerinya. Topeng eksotis berupa figur Penasar Cenikan (mirip punakawan) atau di Jawa disebut Kartala. Topeng itu begitu memesona dan dia merasa topeng itu bernyawa. Lalu dia melacak ke tempat asal topeng di Bali.
Kartala adalah abdi setia Raja Jenggala pada abad ke-15. Ketika sang Raja meninggal, dia lari ke Bali sebelum ke India. Dari India, dia mengembara ke negara-negara Islam seperti Pakistan dan Irak hingga ke sebuah negeri bersalju di Kaukasia.
Dia terus mengembara melintasi abad dan benua. Tapi kesetiaannya pada sang Raja tetap abadi. Maka jadilah dia abdi abadi.
Hingga pada abad ke-21, pengembaraannya sampai di Paris, Prancis, dan dia berubah menjadi barang antik. "J'etais fidele pour toujours (Selamanya aku adalah orang yang setia)," kata Kartala.
Tidak Istimewa
Dari sisi pertunjukan, tidak ada yang dapat dibilang istimewa. Peradeganan beralur lurus, bahkan dalam beberapa bagian seperti "kurang darah".
Maka muncul kesan, kisahnyalah yang terpenting. Itu pun melalui mulut Slamet Gundono yang seperti begitu bebas menerjemahkan ucapan Catherine. Malah ada kesan Slamet mendominasi permainan. Penonton serasa hanya boleh sekilas-sekilas menyimak akting Catherine.
Ketidakistimewaan pertunjukan malam itu juga diakui Francois Cervantes yang telah mementaskan monolognya 150 kali di Prancis. "Ini memang kali pertama monolog itu dipentaskan di Indonesia. Kami hanya berproses beberapa hari dan sangat tidak sempurna. Ya, kami menganggap pertunjukan ini dan besok (pentas yang sama di LIP Yogya, 22/8/2003) hanya sebuah pengalaman," katanya.
Dia membandingkan pertunjukan itu dengan Epos Gilgamesh yang digarap bersama beberapa seniman Surabaya tahun 1997. Lakon itu digarap selama 4 bulan di Surabaya sebelum pentas selama 2,5 bulan di Prancis.(*)
Dari Sekelumit Pijakan Sejarah
LAKON Le Voyag
e de Penazar yang rampung ditulis Francois Cervantes tahun 1999. Kisah berangkat dari sebuah wilayah yang dalam terminologi historis kita adalah wilayah yang nyata ada pada abad ke-15: Kerajaan Jenggala, Jawa Timur.
Benarkah lakon yang ditulis dramawan Prancis kelahiran 14 Agustus 1959 itu berpijak dari peristiwa sejarah? Berikut petikan wawancara dengan penulis lakon dan sutradara yang hanya paham bahasa Prancis itu.
Anda menyebut Jenggala dalam lakon Anda. Apa memang Anda berpijak dari peristiwa sejarah saat menulis?
Walaupun serba sedikit, memang ada pijakan historis. Itu tampak pada abad-abad yang tertulis dalam lakon. Saya memang menyebut Jenggala, bahkan kerajaan itu menjadi pijakan pengembaran tokoh Kartala. Sebab, lakon itu murni diilhami sebuah topeng yang setelah saya lacak berasal dari Bali. Penazar namanya dan bernama Kartala di Jenggala.
Kisah topeng itu bagaimana?
Saya menemukan sebuah topeng di toko antik di Prancis. Saya begitu takjub. Saya melihat itu bukan sekadar topeng melainkan topeng bernyawa. Saya lacak asal topeng itu dan ternyata figur Penasar Cenikan dalam dramatari di Bali. Saya telusur lagi, ternyata ada kaitan dengan figur Kartala di Jenggala.
Jadi, cerita dalam lakon itu melulu soal perjalanan sebuah topeng?
Boleh jadi begitu. Tokoh Kartala bukanlah sekadar seorang manusia. Perjalanannya bukan perjalanan manusia. Itu lebih sebagai perjalanan roh, spritual. Tapi yang pasti, saya ingin mengetengahkan bagaimana tokoh itu begitu setia sebagai seorang abdi.
Lakon itu telah dipentaskan 150 kali di negara Anda. Bagaimana reaksi penonton terhadap lakon yang menyebut nama asing?
Kali pertama mementaskannya, saya dihujani banyak pertanyaan. Jenggala itu nyata ataukah fiktif. Saya bilang, itu nyata. Selanjutnya, ketertarikan mereka setiap kali lakon itu dimainkan seperti tak habis-habis. Catherine Germain-lah yang selalu memainkannya. Kebetulan dia aktris bagus yang punya ketertarikan berakting dengan topeng.
Ke hal lain, bagaimana kehidupan teater di negara Anda?
Sangat bagus. Kami punya banyak kelompok teater. Kami punya banyak gedung teater. Kami juga punya penonton teater. Aktivitas teater begitu hidup di sana. Bayangkan saja, selama 15 tahun bergulat dalam dunia teater, saya telah menyutradarai ribuan pementasan. (*)
Teks & Foto: Saroni Asikin
Suara Merdeka, 23 Agustus 2002
Catherine Germain (pemeran Kartala) berbusana khas kaum borjuis Prancis muncul dari belakang panggung. Wajahnya tertutup topeng Penazar.
Slamet Gundono bersama 4 kru musik telah terlebih dulu di panggung menjadi semacam pengantar lakon.
Begitu masuk panggung, dia menari-nari dalam gerakan ritmis sambil mengucapkan potongan teks Prancis. Permainan gerak dan artikulasi vokal yang banal dan hidup begitu memikat. Gerakan tarinya mirip tarian topeng banyuwangen. Tapi itu disangkalnya.
"Saya tidak tahu jenis tari itu. Saya bergerak tanpa beban seperti yang biasa saya lakukan saat memerankan clown (badut) pada beberapa pertunjukan teater saya di Prancis. Topeng yang saya kenakan itulah yang membawa saya bergerak-gerak," kata Catherine.
Sebagian besar penonton memang boleh tidak mengerti makna ucapannya. Tapi ekspresi yang lahir dari bebunyian kata-kata asing, sembari sesekali diterjemahkan secara sangat bebas oleh Gundono dalam bahasa Jawa dialek Tegal, cukup membantu penonton.
Abdi Abadi
Le Voyage de Penazar bermula dari sebuah topeng yang ditemukan Francois Cervantes pada sebuah toko antik di negerinya. Topeng eksotis berupa figur Penasar Cenikan (mirip punakawan) atau di Jawa disebut Kartala. Topeng itu begitu memesona dan dia merasa topeng itu bernyawa. Lalu dia melacak ke tempat asal topeng di Bali.
Kartala adalah abdi setia Raja Jenggala pada abad ke-15. Ketika sang Raja meninggal, dia lari ke Bali sebelum ke India. Dari India, dia mengembara ke negara-negara Islam seperti Pakistan dan Irak hingga ke sebuah negeri bersalju di Kaukasia.
Dia terus mengembara melintasi abad dan benua. Tapi kesetiaannya pada sang Raja tetap abadi. Maka jadilah dia abdi abadi.
Hingga pada abad ke-21, pengembaraannya sampai di Paris, Prancis, dan dia berubah menjadi barang antik. "J'etais fidele pour toujours (Selamanya aku adalah orang yang setia)," kata Kartala.
Tidak Istimewa
Dari sisi pertunjukan, tidak ada yang dapat dibilang istimewa. Peradeganan beralur lurus, bahkan dalam beberapa bagian seperti "kurang darah".
Maka muncul kesan, kisahnyalah yang terpenting. Itu pun melalui mulut Slamet Gundono yang seperti begitu bebas menerjemahkan ucapan Catherine. Malah ada kesan Slamet mendominasi permainan. Penonton serasa hanya boleh sekilas-sekilas menyimak akting Catherine.
Ketidakistimewaan pertunjukan malam itu juga diakui Francois Cervantes yang telah mementaskan monolognya 150 kali di Prancis. "Ini memang kali pertama monolog itu dipentaskan di Indonesia. Kami hanya berproses beberapa hari dan sangat tidak sempurna. Ya, kami menganggap pertunjukan ini dan besok (pentas yang sama di LIP Yogya, 22/8/2003) hanya sebuah pengalaman," katanya.
Dia membandingkan pertunjukan itu dengan Epos Gilgamesh yang digarap bersama beberapa seniman Surabaya tahun 1997. Lakon itu digarap selama 4 bulan di Surabaya sebelum pentas selama 2,5 bulan di Prancis.(*)
Dari Sekelumit Pijakan Sejarah
LAKON Le Voyag

Benarkah lakon yang ditulis dramawan Prancis kelahiran 14 Agustus 1959 itu berpijak dari peristiwa sejarah? Berikut petikan wawancara dengan penulis lakon dan sutradara yang hanya paham bahasa Prancis itu.
Anda menyebut Jenggala dalam lakon Anda. Apa memang Anda berpijak dari peristiwa sejarah saat menulis?
Walaupun serba sedikit, memang ada pijakan historis. Itu tampak pada abad-abad yang tertulis dalam lakon. Saya memang menyebut Jenggala, bahkan kerajaan itu menjadi pijakan pengembaran tokoh Kartala. Sebab, lakon itu murni diilhami sebuah topeng yang setelah saya lacak berasal dari Bali. Penazar namanya dan bernama Kartala di Jenggala.
Kisah topeng itu bagaimana?
Saya menemukan sebuah topeng di toko antik di Prancis. Saya begitu takjub. Saya melihat itu bukan sekadar topeng melainkan topeng bernyawa. Saya lacak asal topeng itu dan ternyata figur Penasar Cenikan dalam dramatari di Bali. Saya telusur lagi, ternyata ada kaitan dengan figur Kartala di Jenggala.
Jadi, cerita dalam lakon itu melulu soal perjalanan sebuah topeng?
Boleh jadi begitu. Tokoh Kartala bukanlah sekadar seorang manusia. Perjalanannya bukan perjalanan manusia. Itu lebih sebagai perjalanan roh, spritual. Tapi yang pasti, saya ingin mengetengahkan bagaimana tokoh itu begitu setia sebagai seorang abdi.
Lakon itu telah dipentaskan 150 kali di negara Anda. Bagaimana reaksi penonton terhadap lakon yang menyebut nama asing?
Kali pertama mementaskannya, saya dihujani banyak pertanyaan. Jenggala itu nyata ataukah fiktif. Saya bilang, itu nyata. Selanjutnya, ketertarikan mereka setiap kali lakon itu dimainkan seperti tak habis-habis. Catherine Germain-lah yang selalu memainkannya. Kebetulan dia aktris bagus yang punya ketertarikan berakting dengan topeng.
Ke hal lain, bagaimana kehidupan teater di negara Anda?
Sangat bagus. Kami punya banyak kelompok teater. Kami punya banyak gedung teater. Kami juga punya penonton teater. Aktivitas teater begitu hidup di sana. Bayangkan saja, selama 15 tahun bergulat dalam dunia teater, saya telah menyutradarai ribuan pementasan. (*)
Teks & Foto: Saroni Asikin
Suara Merdeka, 23 Agustus 2002
0 komentar:
Posting Komentar