HAMPIR tiap lepas Maghrib, Rokhmad (58) duduk di beranda rumahnya, bersarung dan bertelanjang dada bila cuaca terasa gerah, dan menyedot rokok kretek filternya pelan-pelan. Sesekali matanya memandang atap tertinggi bangunan kampus. Kali lain dia memandangi lalu lalang mahasiswa, yang berjalan atau yang bersepeda motor. Kadang-kadang sembari mengembuskan asap rokok, pikirannya menerawang ke masa dua puluhan tahun lalu.
Lelaki tua itu ingat pasti, tempat yang kini ditanami banyak gedung kampus itu hanyalah bentangan tanah sawah tadah hujan yang lebih banyak kekeringan. Di situ, setiap malamnya hanya jengkerik yang berpesta ''menggelar'' orkestrasi bebunyian yang nyaring. Di seselanya sering pula terdengar derik ular. Dan yang paling diingat Rokhmad adalah sebidang tanah tak luas miliknya yang harus dia jual untuk pembangunan kampus IKIP Semarang (sekarang Unnes).
Dan jalanan Sekaran yang sekarang beraspal hotmix itu pun dulunya jalanan kampung yang jelek dan tanah merahnya selalu becek. Ingatan selebihnya adalah malam-malam yang sepi. Gerak hidup saat itu seperti terhenti selepas Isya.
Semua itu sudah berubah mengikuti eksodus mahasiswa yang berkuliah di kampus tersebut. Malam-malamnya pun seperti lebih panjang. Tapi Rokhmad tak pernah menyesali semua perubahan itu. ''Hidup memang harus berubah. Nuting jaman kalakone,'' ucapnya lirih.
Dia memang telah kehilangan beberapa petak tanahnya karena telah dia jual. Tapi kini dia bisa hidup dari petak tanah yang lain dan juga dari kos-kosan yang dia buka untuk mahasiswa. Lebih-lebih lagi, ketiga anaknya sekarang telah ''mentas'' dan punya rumah sendiri-sendiri di tempat lain.
Ya, sebagian besar masyarakat sekitar kampus Unnes mengakui kedatangan mahasiswa ke wilayah mereka memang memengaruhi pola hidup mereka. Paling jelas terlihat pada mata pencaharian mereka. Tolchah (38) bercerita, dulu orang sekitar kampus Unnes adalah petani, buruh tani, pekerja proyek, dan paling banyak jadi pedagang buah di Jakarta. ''Setelah ada kampus, yang merantau memilih pulang dan berusaha di kampung. Karena tanah habis dijual, kami membuka kos-kosan, warung, atau toko kelontong di rumah,'' ujar buruh bangunan yang tinggal di Dukuh Banaran, Kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang tersebut.
***
PERUBAHAN sosial serupa juga terjadi di sekitar kampus Unsoed Purwokerto dan UNS dan STSI Surakarta.
''Sekarang desa saya ramai sekali,'' cerita Kusmiyati (36), warga Jl Cendrawasih, Gang Perkutut, Grendeng Purwokerto, ''Ketika saya kecil, di sini rumah masih jarang-jarang. Yang membuka kos-kosan juga baru satu-dua. Sekarang, 95% rumah punya kos-kosan.''
Dari sisi ekonomis, masyarakat setempat memang terangkat. Simak saja perhitungan Ir Sunardi (64), dosen Unsoed yang tinggal di sekitar kampus. ''Saat ini ada sekitar 20 ribu mahasiswa. Kalau mereka rata-rata membelanjakan uang Rp 750 ribu per bulan, berarti ada Rp 15 miliar uang yang berputar di sini. Yang kena dampak positifnya ya masyarakat sekitar dari pemilik kos, tukang becak, pemilik warung hingga petani.''
Selain dampak ekonomi, yang tercatat sebagai dampak positif adalah pola berpikir masyarakat setempat. ''Pergaulan dengan mahasiswa setidaknya membuat masyarakat berpikir lebih rasional. Mereka misalnya tak mau menjual tanah kalau akan dibangun perumahan atau supermarket. Kita bisa lihat pada kasus tanah banda di Desa Pabuaran. Bahkan saya melihat ada semacam kecenderungan mereka mau melepas tanah kalau untuk didirikan lembaga pendidikan. Bagi mereka itu lebih bagus ketimbang dibangun pabrik,'' tambah Sunardi.
Di kawasan Kentingan Solo juga begitu. ''Pola pikir masyarakat asli jadi lebih cerdas dan kritis karena bergaul dengan mahasiswa,'' ujar Sarwadi (40), seorang pemilik rental komputer.
Perubahan secara ekonomis pun sangat jelas terlihat. Sekitar tahun 1980-an, pada lokasi yang sekarang berdiri UNS dan STSI Surakarta itu tadinya hanya bong (kuburan) China. Orang yang datang ke situ hidup secara magersaren alias menumpang pada rumah penduduk. Ketika bong itu direlokasi ke Karanganyar dan dibangun kampus UNS, orang mulai berdatangan ke situ. Mata pencaharian orang pun ikut berubah. Selain membuka kos-kosan, tak sedikit yang membuka warung atau rumah makan, dan sarana lain pendukung aktivitas kampus seperti rental komputer.
***
TAK hanya kondisi perekonomian yang berubah, tapi juga perilaku mereka, khususnya terhadap anak muda asli. Kalau dari sisi ekonomis semua perubahan itu tampak bagus, tak begitu dengan perubahan perilaku. Meskipun tak ada penolakan atau ketidakterimaan berlebihan, masyarakat sekitar kampus sering mengeluhkan adanya pergeseran budaya ketimuran yang sekian lama mereka junjung tinggi. Hanya saja, menurut sumber-sumber yang dimintai informasi, pergeseran budaya itu masih bisa ditoleransi.
''Sebelum mahasiswa datang, tak ada anak muda kami yang bisa main gitar. Sekarang sudah banyak yang pintar bergitar,'' cerita Tolchah (38), buruh bangunan yang tinggal di Dukuh Banaran, Kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang, ''Cuma yang agak ngganjel itu perilaku mahasiswa yang kalau tak dipantau, sering membawa teman perempuan ke kamar kos mereka.''
Cara mahasiswa dalam bersopan-santun pun sering dikeluhkan masyarakat sekitar kampus. ''Kadang-kadang para mahasiswa itu kurang sopan ketika mengendarai sepeda motor. Ada juga mereka yang cuek dan tak mau bertegur sapa dengan kami,'' cerita Wiharto (50), anggota TNI AD, yang juga Ketua RW 7 Kelurahan Tembalang Semarang, ''Tapi itu masih bisa kami toleransi.''
Di sekitar kampus Unsoed, kata Kusmiyati, pada tahun 1980-an, mahasiswanya sangat ber-unggah-ungguh. ''Mau keluar malam saja pamitan sama yang punya kos. Mereka juga membaur dengan anak muda setempat dan sering bikin acara bareng. Sekarang semua itu sudah berubah. Mereka berperilaku agak bebas dan berkesan semaunya. Yang kena juga anak dari penduduk asli. Misalnya, banyak dari mereka yang kini ikut-ikutan ngecat rambut.
''Perubahan perilaku masyarakat setempat, khususnya di kalangan anak muda, yang bisa ditandai dengan spidol merah adalah mentalitas transisional yang mengkhawatirkan. ''
Adanya kampus memang memotivasi anak muda setempat berstudi lebih tinggi. Tapi yang tak punya kesempatan kuliah, gaya hidup mereka jadi tidak jelas. Gayanya seperti orang kota tapi mentalitasnya desa. Satu contoh misalnya soal kegemaran mabuk-mabukan,'' tandas Sunardi.
Yang jelas, pengaruh paling kuat mengikuti kedatangan mahasiswa adalah dalam soal gaya hidup. Menurut Anggis Jaka Cahyana (23) yang tinggal di Gang Wijaya Kusuma, Sumampir Purwokerto, mahasiswa adalah trendsetter apa pun utuk pemuda setempat.''Mahasiswa jadi motor youth culture (budaya anak muda) misalnya dalam bikin gigs (pertunjukan) musik, atau juga dalam mode. Yang jelas, semua itu membuka peluang usaha seperti kafe, distro, desain grafis, atau event organizer.''
Itu berarti memang secara ekonomis pembangunan kampus itu berbuah positif bagi masyarakat setempat. Perubahan perilaku pun direaksi dengan peningkatan perekonomian dengan meluasnya peluang usaha. Apalagi masyarakat memang tak bisa menolak perubahan yang berjalan pelan. Jadi bijak benar misalnya Rochmad tak menyesali apa pun yang telah berubah dan berprinsip nuting jaman kalakone. Artinya, orang memang harus ikut perubahan kalau tak ingin tersisih. Syukurlah bila perubahan itu berbuah sesuatu yang positif seperti misalnya peningkatan taraf hidup. Sebab kalau perubahannya hanya dalam bentuk kesenangan mengecat rambut atau mabuk-mabukan, atau pergaulan bebas, itu namanya bukan berbuah melainkan bubrah. (*)
Potensi Kecemburuan Sosial
DALAM proses perubahan, umumnya ada pihak yang dominan, dan ada yang didominasi. Pada kasus perubahan masyarakat di sekitar kampus, yang dominan umumnya adalah masyarakat pendatang yang tak lain adalah kalangan mahasiswa. Hanya saja, di luar soal itu, ada suatu interaksi yang bersifat mutualistis alias saling menguntungkan. Pendapat Jarot Santoso MSi, sosiolog dari Fisip Unsoed Purwokerto mengenai perubahan masyarakat sekitar kampus bisa kita simak dalam petikan wawancara berikut:
Tolok ukur apa yang mudah untuk menggambarkan perubahan di sekitar kampus?
Secara umum, perubahan yang terjadi di sekitar kampus akan sama. Di Yogyakarta atau di sekitar kampus Unsoed ini sama saja.Tolok ukurnya mudah. Kelurahan Grendeng yang sekarang jadi lokasi Unsoed, dahulu terkenal dengan beras Grendeng-nya. Sekarang tidak ada lagi lahan pertanian. Ujudnya berupa unit-unit usaha mulai dari ruko mewah hingga kelas kaki lima. Artinya, masyarakat agraris sudah lenyap berganti dengan masyarakat kota. Perubahan lainnya terjadi dalam hal literasi. Sebagai masyarakat agraris, warga asli menganggap perguruan tinggi sebagai sesuatu yang sangat tinggi dan tidak mungkin terjangkau. Perguruan tinggi adalah tempat bagi orang berkelas sosial atas, orang kaya, dan orang pintar. Itu bukan dunia mereka. Kini setelah melakukan kontak, anggapan semacam itu sudah tidak ada. Perguruan tinggi dianggap sebagai sesuatu yang biasa bagi mereka, sesuatu yang mereka juga bisa merengkuhnya.
Untuk perubahan literasi, apa tolok ukurnya?
Saya banyak berbicara dengan warga lokal, termasuk karyawan Unsoed dari penduduk setempat. Bahkan warga yang kini menjadi sopir berusaha semampunya agar anaknya bisa kuliah. Ini perubahan yang positif. Juga terjadi perubahan dalam gaya hidup. Kaum muda di sini pada masa agraris dulu tidak boleh berpacaran. Itu aneh. Tapi sekarang, kalau putra-putrinya sudah dewasa dan tidak punya pacar, malah ditanya. Artinya, pacaran sudah menjelma menjadi institusi sosial yang harus dialami kaum muda. Itu contoh sederhananya.Namun dalam bidang ekonomi, berpotensi muncul kecemburuan sosial secara tersembunyi, juga perasaan minder.
Seperti apa misalnya?
Penduduk asli tergeser. Mereka sering mengalah dan terpinggirkan karena nilai dari luar lebih dominan. Banyak penduduk asli yang lebih memilih menjual tanahnya dan berpindah ke daerah pinggiran, bukan semata karena pertimbangan ekonomis. Mereka merasa lingkungan asalnya itu sudah bukan dunianya lagi. Lingkungannya sudah diisi oleh orang kaya, berpangkat, pintar dan lain-lain. Ketika saya meminta sejumlah penduduk asli mempertahankan tanahnya, alasan itu keluar dan memang tidak bisa disalahkan. Tidak hanya di Kota Purwokerto. Itu terjadi di Desa Pamijen Kecamatan Sokaraja, tempat tinggal saya. Penduduk asli mulai pindah sejak ada Fakultas Kedokteran. Sebaliknya kos-kos besar dan mewah bermunculan. Warung-warung yang berkembang itu modalnya dari luar seperti dari Tegal.
Jadi terjadi gegar budaya?
Ya, termasuk dialami warga asli yang tanahnya dibeli dan memiliki uang banyak. Ada sopir yang bercerita kalau uangnya sampai disimpan di kandang ayam karena tidak tahu lagi ditaruh di mana. Lalu gaya hidup mereka berubah menjadi komsumtif. Saat uang habis, mereka bekerja sebagai sopir lagi. Banyak cerita seperti itu di sekitar kampus.
Apa dampaknya?
Muncul kriminalitas ringan dan itu memang harus diterima sebagai bagian dari perubahan sosial. Mereka bukan semata karena ingin bertindak jahat, atau karena malas mencari pekerjaan. Mereka tidak mendapat kesempatan dan terjadi kecemburuan ekonomi. Ini pada akhirnya menjadi fenomena dalam skala nasional juga. (*)
Tim Peliput: Leonardo Agung B (Semarang), Sigit Harsanto (Purwokerto), Wisnu Kisawa (Solo).
Suara Merdeka, 13 Juli 2008
Label: Social Change
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
tes tes un deux trois
tes tes
Posting Komentar