Sekolah Internasional dan Masa Depan Itu

on 02 Agustus, 2008

COBA tanyakan pada orang di sekitar Anda: pendidikan seperti apa yang dia inginkan untuk anaknya? Jawabannya sangat mungkin bakal kompak, ''Tentu saja yang terbaik dan bisa menjamin masa depannya.'' Apalagi orang bilang, pendidikan itu suatu investasi. Jadi, jika orang tua memberikan anaknya pendidikan berkualitas utama, kecil kemungkinan investasi itu sia-sia. Ketika menerbangkan anak semata wayangnya jauh-jauh ke Los Angeles untuk bersekolah SMA, Ny Edith Budiman pun mengimpikan anaknya bakal bermasa depan bagus. Lebih-lebih lagi, dia punya uang untuk ongkos pendidikan yang pasti mahal itu. ''Dia telah lulus dari California State University, North Ridge, Los Angeles. Kini dia sudah bekerja di sana,'' ujar perempuan itu seraya tersenyum simpul. Senyum itu bolehlah kita maknakan bahwa impiannya telah terwujud. Si anak telah punya masa depan bagus dengan membangun karier di negeri Paman Sam.
Tentu saja alasan Ny Edith bersifat personal. Lagi pula, alasan itu tak lantas kuat untuk menyimpulkan bahwa pendidikan nasional kita tak lagi menjamin masa depan subjek belajar. Pasalnya, masih begitu banyak orang meyakini pendidikan di Indonesia bergaransi masa depan bagus. Meski begitu, kita tak bisa membantah kenyataan bahwa banyak orang berpikiran serupa perempuan itu. Hanya saja tak gampang bisa bersekolah di luar negeri. Tak lantas kalau kita sudah punya simpanan gunung uang, kita tinggal bilang ''Sesame, buka pintu'' pada sekolah target. Perbedaan kurikulum, pola pendidikan, dan budaya mengharuskan anak kita yang hendak berstudi di luar negeri mesti melakukan penyesuaian. Itu memotivasi banyak orang di Indonesia membuat sekolah yang lulusannya tak perlu menjalani kelas persiapan kalau ingin bersekolah di luar negeri, tapi tetap berkurikulum nasional. Maka bermunculan lembaga pendidikan yang diabsahkan Depdiknas sebagai Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI).''Saya lihat anak-anak Indonesia lulusan SMA yang ingin berkuliah di luar negeri harus menjalani sekolah persiapan selama 1-1,5 tahun. Makanya kami bikin sekolah yang begitu siswa lulus langsung bisa kuliah,'' ujar Lie Ngian Keng, direktur akademis Bina Bangsa School (BBS), salah satu SNBI di Indonesia.Sejak didirikan tahun 2001, BBS memang bertujuan memberikan pendidikan di Indonesia yang diakui secara internasional sehingga pembelajar beroleh pendidikan yang baik dan bisa melanjutkan studi negara mana saja, termasuk Indonesia. Dengan basis kurikulum Indonesia dan mengadopsi model pendidikan Singapura, di mana tesnya berskala internasional dari University of Cambridge, Inggris, jelas terjamin keberterimaannya pada lembaga pendidikan di luar negeri.Dan karena yakin bahwa pendidikan berstandar internasional itu sebaiknya dimulai sedari dini dan berkelanjutan, pengelola BBS membuka sekolah dari prasekolah yang dinamai nursery, primary school (SD), secondary school (SMP), hingga junior college (SMA). Untuk tujuan tersebut, BBS harus berinvestasi besar.
Apalagi kata Lie, ''Kami berprinsip selalu memulai dengan membeli tanah dan membangun sekolah di atasnya. Itu agar BBS bisa punya nilai beda bagi anak-anak Indonesia.''BBS memang berkembang bagus. Setidaknya, dalam rentang delapan tahun saja, BBS beroperasi di beberapa tempat: dua di Jakarta (Kebon Jeruk dan Pantai Indah Kapuk) dan masing-masing sebuah di Bandung, Malang, dan Semarang (mulai beroperasi 21 Juli 2008).

***

KEHADIRAN banyak SNBI, apalagi setelah pemerintah ''mengharuskan'' minimal ada satu SNBI di tiap kabupaten atau kota, bukannya tanpa kritik. Dengar saja pendapat Ir Saratri Wilonoyudho MSi, pengamat pendidikan dari Unnes. ''Saya mencermati banyak SNBI yang berkesan belum dipersiapkan dengan matang. Apakah untuk disebut bertaraf internasional cukup dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar proses belajar-mengajar, atau fasilitas pendidikan yang lengkap saja?''
Lie tentu saja menampik anggapan seperti itu. Atribut sekolah internasional yang disandang BBS tak melulu karena berbahasa pengantar bahasa Inggris. Tidak juga bersandar pada pengembangan kemampuan kognitif pada siswa. ''Hanya bikin pintar siswa itu percuma kalau mentalitasnya tak bagus. Makanya kami mengembangkan character building pada siswa.''Secara lebih jelas, Lie mendedah lima unsur yang jadi basis pola pendidikan di BBS. Pertama, pengembangan spiritualitas agar siswa mengenal dan dekat dengan Tuhan. Kedua, citizenship atau kesadaran sebagai warga negara Indonesia. Ketiga, pengembangan kompetensi akademis yang bertujuan agar siswa bisa berpikir logis, bertindak serta mengembangkan proses belajar yang berkelanjutan. Hal tersebut sejalan dengan visi BBS yang berbunyi ''an environment nurturing life-long learners'' atau gamblangnya ''proses penciptaan lingkungan di mana siswa termotivasi untuk terus belajar di sepanjang hayatnya''. Selanjutnya unsur keempat adalah pengembangan emosional yang bertujuan agar siswa bisa mengenali dirinya sendiri. Dan unsur kelima atau terakhir adalah pengembangan fisik agar siswa bisa menjaga tubuhnya sendiri, misalnya dengan berolahraga.
SNBI lainnya seperti Yayasan Pendidikan Kristen Krista Mitra Semarang juga tak melulu mengembangkan kemampuan akademis siswa. ''Konsep awal sekolah kami adalah mencoba memberdayakan siswa agar berkarakter dan berkerohanian. Jadi, kami sangat menekankan character building,'' ujar Drs Christianus Dwi Estafianto, Kepala Sekolah SMA Krista Mitra Semarang. Berbeda dengan Bina Bangsa School yang sedari awal diarahkan sebagai SNBI, Krista Mitra ''mengambil'' predikat tersebut setelah berjalan beberapa tahun sejak didirikan tahun 1993. ''Selama beberapa waktu, setiap tahunnya sekitar 10% lulusan SMA kami melanjutkan ke luar negeri. Bahkan, banyak pula yang baru kelas 2 SMA sudah pindah ke luar negeri. Dari situ kami berpikir untuk mengembangkan pola pendidikan bertaraf internasional agar alumni kami tak harus menjalani kelas persiapan sebelum berkuliah di luar negeri.''
Sekolah lainnya yang memang diarahkan sebagai sekolah internasional tetapi dengan pola yang agak berbeda adalah Semesta Bilingual Boarding School (SBBS). Ini bisa dibilang sekolah pertama di Semarang yang dalam istilah sekarang termasuk SNBI. Perbedaan dengan sekolah sejenis adalah pada pola pengasramaan siswanya.
Seperti yang lainnya, sekolah yang didirikan Yayasan Al-Firdaus dan Yayasan Pasiad Indonesia punya misi membentuk individu luar biasa yang bakal mampu menghadapi tantangan zaman dalam pergaulan internasional. Tentu saja bahasa menjadi unsur yang sangat penting. Menariknya, demi mengembangkan kemampuan bahasa tersebut, ketika pemerintah belum menetapkan standar SNBI, dengan tetap berbasis kurikulum Indonesia, untuk mata pelajaran science (matematika, IPA), SBBS mengembangkan proses pembelajaran dengan bahasa pengantar bahasa Inggris.''Model itu benar-benar inovasi kami sendiri. Pernah kami tanyakan hal itu pada Depdiknas. Karena tak ada acuannya, lembaga itu tak melarang dan tak menyarankan. Jadi, kami jalan terus,'' ujar Moh Haris, Kepala SMP-SMA SBBS.Yang jelas, semua sekolah internasional itu berkehendak membangun karakter anak bangsa ini dengan tak lupa memberi ''jaminan'' masa depan. Itu juga yang diharapkan para orang tua yang anaknya bersekolah di situ. (*)

Bergengsi dan Elitis

BERSEKOLAH internasional atau di luar negeri itu bergengsi. Maka orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah sejenis itu hanyalah memburu gengsi. Benarkah?
''Tidak juga,'' jawab Umi S Adi Susilo, pemilik Batik Semarang 16, yang menyekolahkan dua anaknya di SBBS, ''Yang penting sekolahnya menanamkan nilai-nilai kerohanian Islam dan membuat anak bisa mandiri. Semesta memberi keduanya dan saya sudah melihat kemandirian itu pada kedua anak saya.''
Pihak pengelola sekolah internasional pun tak selalu sepakat soal predikat ''bergengsi'' itu. Krista Mitra yang ber-sister school dengan Goulburn Valley Grammar School di Melbourne menganggap sekolah jenis itu adalah sebuah keniscayaan. ''Saya yakin dalam waktu-waktu mendatang banyak sekolah asing yang masuk ke sini. Ini bisa berterima sebagai konsekuensi logis dari pergaulan yang semakin global, juga pada era pasar bebas,'' tandas Christianus, sang kepala sekolah.Berbeda dengan dia, Lie dari BBS sepakat bahwa sekolah internasional tak termungkiri memiliki predikat bergengsi, elitis, dan eksklusifnya. ''Ya memang kualitasnya begitu. Pendidikan ini memang mahal.''
Ya, untuk mendapatkan sesuatu yang bagus, kita memang mesti rela mengeluarkan banyak hal, termasuk uang. Begitu juga, banyak orang tak memusingkan uang demi pendidikan anaknya. Apalagi bila lembaga pendidikan itu memiliki citra bagus, bergengsi, dan eksklusif.Kalau begitu, tak bisakah orang dengan kondisi perekonomian biasa, atau bahkan ''di bawah biasa'' ikut menikmati ''kemewahan'' sekolah internasional itu? Mengenai hal itu, Moh Haris dari SBBS bilang, ''Kalau saya cermati, motivasi orang membawa anaknya ke sekolah kami itu beragam. Ada yang tertarik karena sekolah ini bercitra sekolah olimpiade science. Ada juga yang mencari gengsi. Ini untuk segmen tertentu, misalnya kalangan eksekutif. Tapi jangan anggap hanya anak orang kaya yang bisa bersekolah di sini.''Haris memberi alasan, anak-anak dari kalangan eksekutif memang berkategori membayar penuh. ''Tapi kami juga punya kategori siswa yang membayar dengan diskon, dan ada juga yang benar-benar gratis karena dapat beasiswa.''Di luar itu, merebaknya sekolah internasional di Indonesia memunculkan pertanyaan yang cukup serius: Apakah orang sudah tidak percaya lagi pada pola pendidikan nasional?''Saya tidak berpikir begitu. Bahkan, sekolah-sekolah bertaraf internasional jadi pelengkap lembaga pendidikan di Indonesia,'' tutur Christianus.
''Tidak, kok. Saya masih optimistis pada sekolah-sekolah Indonesia yang terus memperlihatkan perkembangan bagus. Hanya saja, dalam beberapa segi, sekolah kita perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman,'' tandas Moh Haris.
Jadi, tak cukup hanya membanding-bandingkan antara sekolah internasional dengan sekolah nasional. Ada banyak hal yang perlu dibenahi pada sistem pendidikan kita. ''Sistem keseluruhannya yang harus dirombak. Kalau pemerintah konsekuen terhadap dunia pendidikan, ya memang perlu melakukan penataan dalam banyak segi,'' ujar pengamat pendidikan Saratri Wilonoyudho. (*)

Suara Merdeka, 6 Juli 2008

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Menurut saya sih anak Indonesia ya harus sekolah di sekolah Indonesia. Punya duit seabregpun, kl saya punya anak, ga akan saya sekolahkan di sekolah asing.
Salah satu barometer bagus or tidaknya sekolah adalah para alumnusnya. Coba di survey, itu sekolah asing yang di Semarang, berapa sih lulusannya yang ke harvard or yale?
Nah kl sekolah indonesia yang bertaraf internasional, itu baru bisa dibanggain. Setau saya untuk menjadi sekolah internasional, tidak hanya copy paste materi pelajaran dari Indonesian ke english tp muatan lokal juga harus diperbanyak. Nah persoalannya, sekolah indonesia yang mengaku bertaraf internasional itu udah siap lom menerima siswa asing. Kl saben ada anak expat di SMG tp anaknya tetep aja di sekolahin di sekolah asing, well itu tandanya, sekolah kita yang katanya bertaraf internasional itu belum totally 100% dipercaya.

Unknown mengatakan...

Hi, Saya menyediakan jasa homestay di daerah Clementi. Saya professional working lady tinggal dengan Mama saya. Saat ini, ada 1 murid Queensway Sec School (direct bus available) tinggal dengan kami. Kami ingin mencari 3 murid lagi, 1 kamar akan di share 2 anak.
Saya berpengalaman sebagai guru les privat di Jakarta, murid2 saya dari sekolah Bina Bangsa School, IPEKA IICS, St Laurentia, and Springfields.Saya bs membantu anak anda bila mengalami kesulitan dalam pelajarannya.
Lokasi 2 stops dr Clementi MRT, 2 stops dr Kent Ridge MRT, and 5 dr from Buona Vista MRT.Hanya 5 menit jalan kaki ke West Coast Plaza (Cold Storage Supermarket, Starbucks, Toko Buku Popular, Guardian,Watson,ATM)
Internet, Aircon, Hot shower.
Lapangan basket, lapangan badminton, dan lapangan futsal di bawah flat kami.
Kami menyediakan guardianship, makan, laundry, dan room cleaning.
Hubungi: Christina (+65 9387 0375) whatsapp atau email : christinama1505@gmail.com