''Dagangan'' Bernama Alam

on 28 Juni, 2008

Oleh Saroni Asikin

SISWONO Yudhohusodo tak pernah bisa melupakan suatu hari yang cerah pada tahun 1958. Dia berusia 15 tahun kala ayahnya yang dokter mengajak dia mengobati seseorang di Medini. Itu sebuah tempat di lereng Gunung Ungaran yang masuk wilayah Kendal. ''Alam di situ sangat menakjubkan. Pesonanya seperti terus membayang dalam diri saya,'' kenang mantan menteri zaman Orba itu.
Ketika telah hidup di kota besar seperti Jakarta, keindahan panorama Gunung Merbabu, Telomoyo, Andong, juga Rawapening yang terpampang dari puncak Gunung Ungaran menjadi kenangan yang terus mengharu-biru dirinya. Kenangan itu begitu kuat mengajak dia kembali.
Dan dia kembali ke tempat itu pada 2007. Seperti sebuah deja-vu, dia masih menjumpai keindahan yang sama dengan saat dia melihatnya hampir setengah abad lalu. Pada saat itu dia berpikir bagaimana agar keindahan itu tak hanya dia nikmati sendiri. Dia ingin orang lain ikut merasakan keterpesonaan yang dia alami. Maka, 2 Agustus 2007, jadilah Umbul Sidomukti, sebuah wisata alam berluas 36 hektare dengan sebuah kolam renang alami pada ketinggian 1.000 meter dpl.
Tak hanya kolam renang, Siswono yang ketika mahasiswa memang pecinta petualangan alami melengkapi tempat itu dengan sarana untuk uji nyali. Flying fox yang terbentang pada Lembah Ungup-ungup, juga marine bridge (jembatan tali) terpasang. Tak ketinggalan camping ground untuk perkemahan dia sediakan.Tak lama setelah dibuka, Umbul Sidomukti yang berada di bawah naungan PT PAS jadi serupa magnet yang menarik minat banyak orang penyuka wisata alam. ''Ketika liburan, pernah sehari datang seribu pengunjung,'' jelas Bambang Wijanarko yang dipercaya Siswono sebagai manajer lapangan.
Sepintas saja, sebagai bisnis, wisata alam seperti itu tentu sangat menguntungkan. Betapapun begitu, Siswono menampik usahanya semata bisnis yang memburu laba. ''Saya membuatnya setahap demi setahap dari uang sendiri. Tak ada pinjaman dari bank. Ini tak semata bisnis. Sebab, untuk idealisme, laba rugi adalah pertimbangan kesekian.''Barangkali agak mengherankan melihat seseorang membuka lahan wisata yang tentu saja berbiaya besar tanpa mengharapkan keuntungan darinya. Tapi kita juga tak bisa memungkiri, untuk sebuah idealisme adakalanya orang memang mau melakukan apa saja, termasuk siap (omong pahitnya) rugi dalam hitungan bisnis.
Begitu juga ketika Budi Dharmawan membuka wisata agro Sentra Buah Prima Ngebruk di Desa Patean, Sukorejo Kendal. Sebagai pengusaha, tentu dia memikirkan keuntungan dari usaha itu. Apalagi, dia harus mengeluarkan uang sekitar Rp 2 miliar untuk mewujudkan lokawisata agro tersebut. Tak termasuk perkebunan yang memang sudah ada, uang itu untuk sarana pendukung perwisataan seperti pembangunan gedung auditorium, infrastruktur jalan, dan operasional kendaraan wisata. Dan itu bukan jumlah yang kecil.
''Jujur saja, saya memikirkan keuntungan. Tapi awalnya, tujuan saya adalah agar buah produksi petani lokal mampu bersaing dengan buah impor. Bolehlah disebut ini upaya pemberdayaan petani buah kita.''
Ya, keuntungan tetap penting dipikirkan. Tapi sering pula ada yang lebih dari itu. Idealisme memberdayakan petani buah dalam hal ini menjadi prioritas awal. Lebih-lebih lagi, kata Pak Budi, usahanya baru balik modal atau istilah kerennya break even poin (BEP) baru enam tahun setelah beroperasi.

***

DI luar ihwal pemenuhan idealisme atau perburuan keuntungan, beberapa tahun belakangan muncul kecenderungan orang membuat lokawisata dari alam yang tadinya berkesan biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang memiliki daya tarik. Dalam ranah ekonomi, ini ihwal bagaimana orang melakukan branding sehingga yang biasa menjadi tidak biasa atau bahkan luar biasa.
Memang tak selalu seperti itu. Alam di kitaran Umbul Sidomukti memang telah sangat cantik dan memesona sehingga membuat orang seperti Siswono terimpi-impi. Tapi tanpa naluri ''bisnis'' darinya, tempat itu mungkin hanya mirip seorang perawan molek yang terpingit sehingga sangat mungkin ia hanya bakal jadi perawan tua.
Tapi coba lihat Sentra Buah Prima Ngebruk. Sebelum dijadikan lokawisata agro, tempat itu hanyalah perkebunan biasa yang mungkin hanya menarik untuk dipandang selintasan sembari berkendara. Atau yang dahsyat kita jumpai pada Wahana Bahari Lamongan di Jatim. Tempat itu awalnya memang sudah jadi tujuan wisata bernama Tanjung Kodok. Lantaran objeknya hanya batu-batu serupa katak dan panorama laut, ia kehilangan kaloka alias popularitasnya. Nah, datang saja sekarang ke sana, Tanjung Kodok itu masih ada dan hanya menjadi lirikan sepintas duyunan pengunjung yang lebih terharu-biru oleh objek-objek buatan semacam Rumah Sakit Hantu, water boom, arena gokar, atau Sarang Bajak Laut. Dan itu semua objek-objek buatan.
Tirto Arum Baru di Jl Soekarno Hatta Barat Km 2,7 Kendal juga tadinya sebuah kolam renang. Tapi begitu bermetamorfosis menjadi tempat outbound berfasilitas lengkap, ia menjadi tempat tujuan berehat dan bermain-main dengan sebutan ''oase di jalur pantura.''
Di Jateng, nama Owabong di Purbalingga pantas dicatat sebagai tempat wisata buatan yang kaloka. Di tempat tersebut, materi alam berupa air yang jadi ''dagangan'' utama. Fasilitasnya berupa water boom, olympic pool, kolam arus, ember tumpah, pantai bebas tsunami ditambah flying fox dan sirkuit gokar. Sejak dibuka tahun 2005, pengunjung dari banyak kota berdatangan. Agus Dwiyantoro, manajer pemasaran Owabong memang tak menyebut rerata pengunjung tiap bulannya. Satu yang pasti, tempat itu mirip mesin pengeruk uang. Kata Agus, meskipun target yang dibebankan dari pemerintah setempat untuk PAD (pendapatan asli daerah), angkanya selalu naik (Rp 1 miliar di tahun 2005, Rp 1,5 miliar di tahun 2006, dan Rp 1,6 miliar di tahun 2007), Owabong selalu mampu memenuhinya. ''Tahun ini, targetnya dahsyat: Rp 2,3 miliar. Sampai bulan ini (Juni-Red), kami sudah beroleh sepertiganya,'' tandas Agus.
Jadi jelas benar, alam itu ''dagangan'' yang menjanjikan keuntungan. ''Tentu saja menguntung. Kalau tidak, mungkin kami sudah tutup,'' ujar Sri Sarwo Utomo, Direktur Tirto Arum Baru.
Kalau disigi lebih dalam, hal tersebut tentu saja dipengaruhi oleh kecenderungan orang untuk meyakini kembali konsepsi klasik tentang back to nature. Ya, kembali ke alam, dan kalau bisa dapat untung ketika kembali kepadanya. Gamblangnya, yang menikmati dapat pesona alam, yang mengelola dapat ''pesona'' uang.(73)

Peliput: Rony Yuwono, Modesta Fiska, Budi Setyawan

Di Kota pun Oke

APA yang terpacak di benak Anda ketika seseorang menyebut tempat outbound? Sebuah dusun yang hening, agak di daerah ketinggian, atau pelosok yang yang medannya sulit dijangkau? Tak sepenuhnya Anda keliru. Gambaran seperti itu juga yang dipertimbangkan pengelola Tirto Arum Baru di Kendal ingin membuka sarana outbound di tempat tadinya hanya kolam renang dan restoran lesehan. Pasalnya, tempat itu berada di pinggir jalan yang sibuk dan hanya sekitar dua kilometer dari pusat kota Kendal.
''Buka tempat outbound di kota itu bisa menguntungkan, tapi bisa pula tak bakal laku. Selama ini orang membayangkan tempat outbound itu sebuah pedesaan atau tempat-tempat yang jauh dari keramaian. Lebih-lebih lagi orang membayangkan Kendal itu berhawa panas. Belum-belum, orang sudah membayangkan suasana yang tidak asyik,'' ujar Sri Warso Utomo.
Keraguan lelaki itu palastra alias sirna. Buktinya, sejak dibuka tahun 2004, jadwal outbound di situ hampir selalu penuh. Di situ, orang bisa beriang-riang bermain polo di lumpur , flying fox yang kayaknya wajib ada untuk outbound, naik gethek di ''danau'' buatan, taman refleksi untuk pijat-pijak kaki, atau berdebar-debar dalam ayunan berantai di atas kolam.
Pengunjung pun berdatangan dari berbagai tempat. Tak hanya Semarang, orang dari tempat sejauh Cirebon pun kata Sarwo mau ber-outbound di situ. Apalagi sejak tahun 2005, ada pengembangan baru berupa wisata agro. Walhasil, pada lahan seluas 3 hektare, orang bisa datang untuk berupa-rupa kegiatan. Lagi-lagi ini persoalan mengemas sesuatu dari yang biasa menjadi tak biasa. Selain tagline ''oase di jalur pantura'', Tirto Arum Baru menyedot pengunjung dengan ''merek'' yang menyebutkan tempat itu sebagai agrowisata. Jangan membayangkan sebuah perkebunan yang berhampar-hampar dengan aneka buah. Yang ada hanya puluhan pohon mangga yang kini ditambahi mengkudu dan lidah buaya.
''Meski tak banyak, tapi pepohonan itu tetap penting, setidaknya sebagai medium edukasi bagi sebagian orang,'' kata Sarwo.
Edukasi? ''Ya, selain bisnis, secara moral kami juga terdorong memberikan pendidikan alam, khususnya pada anak-anak.''Mungkin itu tak semata dalih. Sarwo bercerita mengapa tempatnya membuka program bertanam dan memanen padi di sawah. ''Suatu hari, ada serombongan keluarga makan di restoran ini. Saat itu padi sedang menguning. Si anak bertanya apa tanaman itu dan ayahnya menjawab itu padi yang nantinya jadi beras. Si anak langsung mengatakan bahwa itu 'pohon beras'. Itu satu contoh, ada sebagian orang yang anaknya tak tahu sama sekali berasal dari apa nasi yang dia makan. Itu mendorong kami untuk mengembangkan program-program edukatif.''
Yang jelas, untuk berpelesir dan berehat sekaligus beriung-ria, orang tak selalu harus pergi ke tempat terpencil. Di kota atau pinggirannya pun oke. Kalau bagus dalam pengemasan, tempat yang sibuk pun bisa dijadikan lokasi berwisata alam. Wahana Bahari Lamongan misalnya, ada di jalur jalan utama Tuban-Lamongan. Begitu juga Owabong yang berada di Desa Bojongsari, jaraknya hanya sekitar lima kilometer dari kota Purbalingga. Ini memudahkan orang yang tak ingin ''berpayah-payah'' dahulu melintasi medan yang (mungkin) sulit sebelum menikmati kegembiraan.(73)



0 komentar: