Wira-Wiri Waras

on 27 Juni, 2008

Oleh Saroni Asikin

Gelang logam itu berkesan sederhana. Warnanya pun tak semengilat perak, malah agak kusam. Di tangan atau kaki, ia tak lebih sebagai gelang aksesoris. Tapi bagi Anwar (26), gelang itu bukan semata hiasan tangan melainkan serupa ''jimat''. Namanya gelang biomagnetik.
''Tadinya saya tak percaya gelang seperti itu punya khasiat hebat. Tak lama setelah pakai gelang ini, pusing dan mudah lelah yang saya idap jadi hilang. Tubuh pun jadi selalu segar ketika bangun tidur,'' kata Anwar dengan gaya bicara mirip salesman produk kesehatan.
Betapa afdolnya ''jimat'' milik Anwar itu. Ketika dia pusing atau kelelahan, dia tak perlu meminta seseorang memijati tubuhnya atau pun meminum obat. Cukup melingkarkan gelang itu di tangan atau kaki, bersantai atau bahkan beraktivitas lain, dia bebas dari penyakit menjengkelkan itu.
''Padahal tadinya saya ndak percaya kalau gelang itu memang berkhasiat.''
Yusuf (37) pun tadinya begitu. Saat ditawari untuk membeli gelang tersebut, dia langsung berpikiran bahwa itu hanya trik jualan anggota MLM (multilevel marketing).
''Banyak teman menyarankan agar saya pakai gelang itu untuk menyembuhkan migren dan imsomnia menahun saya. Katanya, mereka sudah mencoba dan berkhasiat. Jadi tertarik juga. Awalnya, tak ada pengaruh yang berarti. Setelah satu bulan saya pakai, kedua penyakit itu lenyap.''
Tulisan ini tak melulu membicarakan gelang sederhana yang oleh sebagian orang dipercaya seajaib jimat penyembuh itu. Yang lebih menarik adalah mencermati perilaku pemakai peranti kesehatan. Sebab, pada hakikatnya setiap orang ingin sehat. Berbagai cara mereka lakukan untuk jadi sehat. Bahkan, kadang uang dianggap nomor dua setelah kesehatan. Buktinya, meski gelang itu mahal (lebih dari Rp 1 juta), banyak orang membelinya. Pada titik tertentu, peranti yang bentuknya mirip jam tangan atau rosario tersebut jadi ngetren.
Tapi sampai kapan kecenderungan itu bertahan? Itu pertanyaan skeptis mengingat sudah banyak orang memburu peranti tertentu, yang lalu jadi ngetren, lalu hilang begitu saja atau digeser ''barang'' baru.
***
SERUPA dengan gelang biomagnetik, sebelumnya ada korset dan bantal kesehatan. Kebanyakan kalangan perempuanlah yang kepincut. Padahal seperti peranti kesehatan lainnya, harga produk itu terbilang mahal. Lihat saja, satu korset harganya Rp 2,5 juta itu, sementara bantal seharga Rp 800 ribu.
Untuk Eni Suprihati (41) yang kondisi perekonomiannya pas-pasan, harga korset dan bantal itu jelas mahal sekali. Tapi demi memburu kesehatan, dia membelinya juga. Dia berprinsip uang bisa dicari, tapi kalau kesehatan sudah jebol, risikonya bisa sangat parah.
Lalu apa yang diperoleh perempuan itu? Nihil! Berbulan-bulan memakai kedua peranti itu, dia tak merasakan manfaat apa pun. Padahal, tadinya dia sangat yakin bisa menyembuhkan gangguan syaraf penglihatan yang dia derita. Itu juga yang diomongkan produsen alat itu saat berpromosi.
''Saat itu saya benar-benar terpengaruh oleh informasi mengenai kemujaraban yang diimpor dari Jepang itu. Tetangga dan teman juga ikut memengaruhi. Banyak dari mereka yang tak mampu beli ingin meminjam punya saya. Karena belinya mahal, saya sewakan saja. Lumayan, per minggu saya sewakan Rp 20 ribu.''
Tapi sayang sekali, hingga berbulan-bulan, Eni merasa tak mendapat manfaat dari kedua barang itu. Hasilnya, keduanya kini mangkrak. Berdebu.
Akankah gelang biomagnetik atau peranti kesehatan lainnya (sekadar menyebut misalnya biolantern) hanya tren sesaat yang bakal segera diganti tren lain? Kita lihat saja nanti. Sebab, diakui atau tidak hal seperti itu sering terjadi.

***
YANG jelas, kita memang berhak memilih produk kesehatan yang kita sukai. Kadangkala kita mengalami semacam fanatisme terhadap produk tertentu. Ada orang yang lebih suka mengonsumsi obat generik untuk menyembuhkan penyakitnya. Lebih khusus lagi, acap kali seseorang hanya cocok dengan satu merek obat saja dan ogah merek lainnya.
Begitu pula, ada orang-orang yang lebih memercayai obat-obat herbal ketimbang obat kimiawi. Lihat saja orang yang datang ke beberapa toko obat herbal China di Jl Pekojan Semarang. Yang membeli tak hanya orang Tionghoa. Di kalangan etnis Tionghoa, khususnya penganut Konghucu, fanatisme terhadap jenis obat itu bisa dibilang menjadi bagian dari keyakinan mereka. Dan benarlah, salah satu hal yang selalu diinginkan ketika orang melakukan ritual ciamsi di kelenteng adalah meminta obat.
''Banyak yang datang ke sini cuma bawa resep dari kelenteng. Saking fanatisnya, kalau di tempat kami tak ada, mereka tak mau,'' cerita Luciana Thio, pemilik Toko Obat Taurus.
Apa pun jenis peranti pengobatannya, sebenarnya kita tidak boleh mengabaikan pola hidup kita. Sehat-sakitnya seseorang banyak dipengaruhi oleh bagaimana kita menjalani hidup. Saya yakin, kita sudah banyak membaca entah itu dari media cetak atau online, atau dari buletin dan jurnal-jurnal kesehatan mengenai tips-tips untuk sehat. Kalau ditarik garisnya, tips-tips itu memang bermuara pada pola hidup kita.
Maka perlu kita renungkan ucapan seorang tabib besar Arab seperti yang dikutip Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya The Prophetic Medicine (1997): ''Barangsiapa ingin panjang usia, meskipun hidup abadi itu mustahil, harus makan siang dan makan malam pada waktunya, mengenakan pakaian yang lembut dan menghindari aktivitas berlebihan.''
Jadi, siapa yang mau sakit? Siapa yang tak mau hidup sehat? Saya jadi ingat sebuah tulisan di bak belakang truk yang puitik-menggelitik tapi mengandung doa yang (bisa saja) mustajab. Bunyi tulisan itu: wira-wiri waras. Tentu saja itu bisa kita terjemahkan secara bebas bahwa ke mana pun atau dengan cara apa pun, kita memang menginginkan selalu sehat-sehat saja. (*)

Murah pun Bisa Bikin Sehat

JANGAN gampang percaya terhadap satu jenis alat kesehatan. Sebagian orang yang kecewa tak mendapat manfaat dari alat alat yang konon bisa menyembuhkan pelbagai penyakit bisa kita ambil contoh. Mengenai gelang biomagnetik, Ruddyanto Nadjoedjojo, ahli pengobatan tradisional China yang berkala mengisi rubrik Pengobatan Sinshe di harian Suara Merdeka, mengatakan belum bisa membuktikan alat itu secara ilmiah.
''Gelang itu mungkin hanya berkhasiat untuk penyakit-penyakit riangan seperti pusing-pusing atau demam. tapi untuk menyembuhkan openyakit berat seperti kanker misalnya, saya kok tak yakin,'' tandas dia.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr dr Anies MKes PKK berpendapat hampir serupa.
''Apakah alat-alat seperti itu benar-benar bisa mengurangi sakit atau menyembuhkan penyakit?'' tanyanya. Lalu dia jawab sendiri, ''Sebagian kecil secara teoretis benar, tapi sebagian besar sama sekali bohong. Bagaimana dalam tinjauan media? Sebagai dokter, saya mengatakan perlu pembuktian lebih lanjut, dalam hal ini harus dilakukan penelitian yang mendalam.''
Pasalnya, semua keputusan medis harus berdasarkan evidence base medicine atau dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kedokteran. Adapun alat-alat kesehatan tersebut biasanya ditawarkan hanya berdasarkan argumentasi, logika, dan kesaksian.
''Itu bukan cara-cara ilmiah kedokteran.''
Kalau seperti itu, pakar kesehatan keluarga, itu memandang antusiasme orang membeli alat-alat kesehatan itu semata gaya hidup. ''Padahal, kalau tujuannya mencari cara untuk sehat, sebenarnya banyak yang mudah dilakukan dan murah. Tak perlu Mahal, murah pun bisa bikin sehat. Misalnya, kalau ingin mengurangi lemak, ya kita harus mengurangi makanan berlemak dan berolahraga teratur. Ingin mengurangi berat badan? Mengapa tidak jogging, bersepeda, atau berenang? Semua itu lebih sehat, murah, dan bisa dipertanggungjawabkan."
Dalam hal-hal tertentu, menurut dia, orang-orang modern ''terancam'' bahaya penyakit gaya hidup. Biang keladinya adalah unhealthy lifestyle (gaya hidup tidak sehat). Contoh-contohnya pola makan tidak sehat, aktivitas kurang gerak, kebiasaan merokok, atau minum minuman beralkohol. Itu semua sumber penyakit seperti jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak atau stroke, diabetes mellitus, dan kanker paru-paru.
''Itulah penyakit-penyakit gaya hidup yang tak sehat. Lebih parah lagi bagi yang jarang beraktivitas fisik. Misalnya naik ke lantai dua saja harus pakai lift, atau pergi ke tempat yang dekat sajaharus naik mobil. Ini akan menurunkan HDL (high density lipoprotein) atau kolesterol baik yang berkecenderungan menyebabkan penyakit.''
Selain pemakaian alat-alat kesehatan, kecenderungan orang berduit yang berobat ke Singapura atau luar negeri bagi dr Anies pun semata gaya hidup.
''Mengapa Mengapa harus ke Singapura, sementara di Indonesia sebenarnya sudah ada fasilitas pengobatan yang kurang lebih sama? Jelas itu bagian dari gaya hidup orang-orang kaya.''
Tapi menurutnya kecenderungan itu tidak lahir begitu saja. Perbedaan pelayanan pengobatan di Singapura dan Indonesia bisa jadi faktor pemicunya.
''Kalau di Indonesia, masih banyak dokter atau pekerja medis yang memperlakukan pasien dengan pendekatan organ tubuh. Jadi pasien dianggap seolah-olah benda mati saja. Kalau di Singapura pasien lebih dimanusiakan dengan pendekatan kekeluargaan.''
Karena semata tren, dia yakin itu bisa berubah. Caranya? ''Ya pelayanan kesehatan di negeri kita harus ditingkatkan." (*)
Reporter: Sarby
Foto-foto: Maulana M Fahmi
Selasar Suara Merdeka, 15 Juni 2008


0 komentar: