Oleh Saroni Asikin
Saya kembali memandang Ipang. Senyaman itukah air muka orang yang hendak berperang? Semestinya sebagai panglima, lelaki bermuka tirus itu sudah harus menyiapkan taktik dan strategi jitu untuk berperang. Dan itu setidaknya akan membuat dia tegang. Apalagi, jam 13.00 tinggal belasan menit lagi.
Tapi tidak. Tak seguris pun kecemasan terbayang pada wajahnya. Lihat juga penampilannya: berkaus tertutup jaket biru tua dan bercelana jins hitam. Padanya tak terjumpai pistol atau pemarkah seorang komandan atau seorang johan alias jagoan yang berwibawa di medan laga. Panglima macam apa dia?
Jangan menilai berlebihan dahulu. Ipang hanyalah panglima perang di dunia maya bernama game online. Pada permainan Racing Force Online (RFO) yang lagi populer sekarang, dia memang archon alias panglima perang bernama maya ''Slavin''. Dan galibnya pemimpin perang di dunia nyata, dia juga memiliki ratusan anak buah. Uniknya, bisa saja dia tak kenal sama sekali jatidiri orang-orang yang dia pimpin.
Siang itu, dua ruangan Transbitnet, sebuah game center dan internet cafe di Jl Erlangga Timur 5, Semarang, telah dipenuhi para pemain game online. Kata Bagus Sundaru (31), pengelola tempat itu, dengan 40 unit komputer, per harinya pemain berkisar antara 100-200 orang . Kalau hari libur, jumlahnya bisa lebih dari itu. Kami lalu masuk ke sebuah ruangan. Di situ, di hadapan puluhan unit komputer yang berderetan, puluhan anak muda (banyak di antara mereka masih mengenakan seragam sekolah) tengah memelototi monitor dan tangan mereka sibuk menggeser-geser mouse. Pada layar-layar monitor itu bergerak sosok-sosok karikaturis. Ada yang tengah berperang lewat game RFO, berdansa dalam game Ayo Dance Online (ADO) dan Idol Street Online (ISO), atau bertualang dalam Ragnarok Online.
Suasana begitu riuh oleh teriakan para pemain. Ledakan kegirangan tertingkah kesah kekecewaan. Udara begitu pengap oleh kepulan asap rokok. Padahal menurut Bagus, ruangan itu semestinya bebas asap rokok.''Banyak pemain merasa lebih bisa berkonsentrasi kalau merokok. Jadi, ruangan kami bagi dua. Satu bebas rokok, satunya smoking area. Kami juga menolak pemain yang masih berseragam. Tapi dasar sudah keranjingan, mereka kadang bawa pakaian bebas dan memakainya di toilet. Ada juga yang sengaja menutupi seragamnya dengan jaket,'' ujar Bagus.
Nyatanya di antara kepengapan dan keriuhan seperti itu, para pemain tetap asyik-asyik saja. Meskipun terlihat keruh dan lelah, rona keriangan tetap menguar pada muka-muka mereka. Bagaimana tak suram muka mereka kalau dalam sekali ngegame, paling sedikit mereka bertahan di depan monitor selama lima jam.''Itu belum apa-apa. Ada yang betah sehari semalam,'' tambah Roy, seorang maniak game online sekaligus pengelola game center Versus di Banyumanik Semarang, ''Yang sampai tiga hari atau seminggu pun ada. Mandi dan makan ya di depan monitor.''
Roy pasti tidak membual. Saat itu, ketika Ipang telah jadi sang archon Slavin, saya melihat seorang pramusaji dari kafe di Transbitnet mengantar nasi goreng berlauk telur mata sapi ke seorang pemain. Setelah membayar, sembari menyendok nasi dengan satu tangan, si pemain tetap memainkan mouse pada tangan satunya. Tentu saja dia tak mau melewatkan ''perang''-nya satu detik pun. Sebab, lena sekejap bisa jadi bulan-bulanan musuh mayanya.
***
YA, ketika seseorang keranjingan atau bahkan kecanduan, dia bisa mengorbankan apa saja demi memuaskan hasratnya. Juga para pecandu game online itu. Demi mengejar kepuasan atau mungkin hanya kepenasaran, seseorang bisa rela ''membuang'' berjam-jam atau berhari-hari dari waktu hidupnya. Belum lagi soal uang yang harus dikeluarkan. Kalau sewa per jamnya berkisar Rp 2.000-Rp 3.000, berapa rupiah untuk yang berhari-hari?
Kita mungkin bisa menganggap perilaku seperti itu hanyalah pemborosan waktu. Mungkin pula kita merasa aneh menyaksikan bagaimana seseorang bisa sangat kegirangan ketika sosok maya yang dia cipta memenangi sesuatu, dan pada saat lainnya bisa mendesahkan keluhan, atau bahkan air mata sedih ketika pahlawan ciptaannya dikalahkan musuh yang juga maya. Seperti ada ironisme di situ.
Tapi mungkin juga bukan sesuatu yang ironis kalau kita mengingat istilah hiperealitas dari Umberco Eco. Pada fenomena hiperealitas terdapat prinsip representasi di mana sebuah salinan atau tiruan itu masih merupakan representasi dari rujukan atau referensinya (lihat Travel in Hyper-Reality karya Umberto Eco yang diterjemahkan penerbit Jalasutra menjadi Tamasya dalam Hiperealitas).
Dalam hal ini, para pemain game online itu seolah-olah mendapat rujukan, bahwa dunia maya yang mereka mainkan merupakan representasi dari dunia nyata mereka. Setidaknya representasi dari keinginan mereka untuk jadi hero alias pahlawan alias idola, yang mungkin tak kesampaian dalam kehidupan nyata mereka.
Tentang yang terakhir, Roy berkisah, ''Saya punya teman yang selalu patah hati. Eh, dalam game, dia itu macam Cassanova atau Don Juan saja. Gampang memikat tokoh cewek.''Namun, lepas dari konsep-konsep seperti itu, Bagus yang telah menggulati game online sejak 2003, menampik anggapan aneh dari orang-orang ''awam game''.
''Kalau belum mengenal game online, orang akan menganggap para pemain ini orang-orang aneh. Mereka pikir, kami hidup di alam impian. Alam maya. Padahal kalau sudah lebih mengenal, mereka akan paham, ini tak sekadar dunia maya.''
Tak sekadar dunia maya? Tentu saja, Bagus tak sedang membela kaum pecandu game online. Dia bilang, seseorang bisa beroleh penghidupan dari permainan maya itu. Gamblangnya, seseorang bisa mengantongi lembaran rupiah atau bahkan dolar.
''Dalam game, kami mengumpulkan poin. Poin itu bisa ditukar rupiah. Uang nyata itu. Dulu saya bayar kuliah dari rupiah yang dikonversi dari poin game. Kini, saya pun hidup dari itu. Seminggu paling tidak saya dapat Rp 500 ribu.''
Bukan cuma poin yang bisa diuangkan. Dalam game, ada item bagus atau di kalangan para pemain disebut ''barang dewa'' yang kalau dijual harganya mahal. Tapi itu membutuhkan hoki tersendiri. Tak setiap pemain bisa memerolehnya.
''Seorang teman saya pernah menukar satu 'barang dewa' dengan sebuah sepeda motor Ninja. Itu lebih dari Rp 20 juta, lho,'' tandas Roy antusias.
Kalau begitu, permainan maya itu tak semata memuaskan kebutuhan manusia sebagai makhluk yang suka bermain-main (homo ludens), tapi juga memenuhi fitrah manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus). Lebih pasti lagi, dengan atau tanpa motivasi beroleh rupiah, permainan maya itu memang menggoda seseorang untuk ''masuk'' ke dalamnya.
Kalau rupiah urung direguk, kegembiraan pastilah tertangguk. Tapi tentu saja, itu harus dibayar dengan pengorbanan yang tak sedikit. Orang seperti Bagus, Roy, atau Ipang sering harus rela, setidaknya, mengorbankan waktu luang dan tidur mereka.(*)
SELASAR (Suara Merdeka, 22 Juni 2008)
Jujur Saja Dapat Duit, Kenapa Curang?
KETIMBANG game off-line, game online memang muncul agak belakangan pada tahun 2002. Saat itu pengguna internet memainkan game Nexia yang berbentuk kotak dua dimensi bersistem Roll Playing Game (RPG). Permainannya berupa petualangan dengan satu karakter dan dimainkan secara perseorangan.Setelah itu, muncul Ragnarok Online (RO) dari Korea yang mulai memakai sistem Multimessage Playing Online Roll Game (MMPORG). Permainannya mulai canggih dan bisa dimainkan banyak orang dengan fasilitas pesan yang jadi medium interaksi pemain lewat internet. Mungkin kita masih ingat betapa populernya Ragnarok ketika itu. Jumlah pemainnya berkisar antara 2.000 hingga 3.000 orang pada satu server. Padahal, server penyedianya berjumlah tiga buah.
Antusiasme orang bermain game online itu lalu menarik minat para pemilik warnet untuk membuka game center. Di Semarang, antara lain ada Transbitnet, Versus, X-Cyber, XYZ, Dot Net. Kalau dalam sehari Transbitnet dikunjungi 100-200 pemain, atau Versus rata-rata 100 pemain, Anda sudah bisa membayangkan sendiri berapa orang yang keranjingan jenis permainan itu.
Game lain yang mengikuti Ragnarok antara lain Ran Online, TS Online, dan Seal Online. Visualisasi game-game itu masih berupa gambar dua dimensi sebelum dipercanggih menjadi tiga dimensi (tridi), seperti pada Seal, Racing Force, dan Ran. Jenisnya pun tak hanya peperangan dan petualangan, tapi muncul permainan yang lebih santai untuk chatting atau mendengarkan musik seperti Ayo Dance dan Idol Street.
Rupanya tak cukup hanya untuk having fun, game online mulai dijadikan e-sport tahun 2006. Bentuknya berupa kompetisi yang diikuti oleh lebih dari 50 negara. Ini bukan kompetisi main-main kalau melihat hadiah yang ditawarkan penyelenggara seperti World Cyber Game. Tahun 2003, jumlahnya mencapai 25 ribu dolar AS. Hal itu menegaskan, sesuatu yang maya bisa ''hadir'' sebagai sesuatu yang nyata. Bukan cuma itu, lewat interaksi dunia maya, para pemain juga membentuk komunitas yang disebut guild. Itu komunitas nyata di mana para anggotanya sering bertemu, berdiskusi, bahkan memilih pemimpin. Orang seperti Ipang yang menjadi pemimpin perang dalam game, juga terpilih lewat guild. Gilanya, mereka menyusun ''strategi perang'' pun ketika berkumpul. Beberapa komunitas permainan dunia maya itu antara lain Versus Allstars, Barack, Holinitro, Sesame Street, atau Herois.
''Lewat game, saya punya banyak teman,'' tandas Roy.
Aspek ikutan game online yang menarik adalah fenomena hacker atau pembajak, atau dikenal pula dengan istilah cheater (pemain curang). Dengan iming-iming konversi poin atau item game menjadi uang nyata, siapa yang tak tergerak bermain curang? Roy memberi satu contoh pada game Racing Force. Setiap Rp 1 juta yang dimiliki seorang pemain dalam game, ia sudah mengantongi uang nyata Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Polanya berupa pembongkaran kode server yang memungkin seorang pemain bisa mencuri poin atau item, atau hanya berupa jalan pintas ke level tertentu. Satu contoh sederhana, bila dalam sehari bermain umumnya seseorang hanya mampu menyelesaikan satu level, si curang bisa mencapai level kelima atau seterusnya. Poinnya pun jadi besar tanpa harus bersusah payah.
Tentu saja para pemain curang itu dimusuhi pemilik server. Mereka tak mau bangkrut seperti penyedia game Knight Online yang dijebol seorang pemain curang. Makanya para penyedia permainan melakukan pengawasan ketat lewat Game Master.
''Silakan main curang dan tanggung risikonya. Kalau ketahuan, ID kita bakal dicabut. Tentu saja, kita masih bisa main, tapi kembali dari awal dengan ID baru. Rugi besar kalau kita sudah mengumpulkan poin banyak. Lha wong jujur saja dapar duit nyata, kok,'' jelas Roy. (*)
0 komentar:
Posting Komentar